MAKALAH
TAFSIR TARBAWI II
Di
susun guna memenuhi tugas:
Mata
Kuliah: Tafsir Tarbawi II
Dosen
Pengampu: H. Sholahudin, M.Pd.
Di
susun oleh:
1. Nailatus Sa’adah 2021 111 027
2. Reira Kurniasari 2021 111 049
3. Indah fitriyana 2021 111 054
4. Sobakha Nurul Khusna 2021 111 222
5. Mareta Sofiana 2021 111 273
6. Khumaidah 2021 111 277
7. Minhatul Afidah 2021 111 291
8. Kholis Arifah 2021 111 293
Kelas:
F
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2013
AKTUALISASI NILAI AL QUR’AN DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Point utama pembahasan ini adalah mencari upaya yang
sungguh-sungguh agar pendidikan Islam menjadi pilihan utama bagi masyarakat
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan akal pikiran dan sekaligus
pencerdasan Qalbu merupakan langkah yang sangat efektif dalam membangun bangsa
yang saat ini memerlukan generasi-generasi memiliki kecerdasan intelektual dan
cerdas Qalbunya. Kedua kecerdasan ini hanya akan diperoleh bilamana lembaga
pendidikan menggali dan menyalami nilai-nilai yang diajarkan Al-Qur’an dalam
membangun kualitas Sumber Daya Umat (SDU) yang berkualitas dengan cara
mengaktualisasikan nilai-nilai Qurani dalam system pendidikan Islam.
A.
Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai
Al-Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk
bagi suatu umat tertentu dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi
petunjuk yang universal dan sepanjang waktu. Al-Qur’an adalah eksis bagi setiap
zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan
meliputi segala aspek kehidupan.
Bukan saja ilmu-ilmu keislaman yang
digali secara langsung dari Al-Qur’an, seperti ilmu tafsir, fikih dan Tauhid,
akan tetapi Al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi,
karena banyaks ekali isyarat-isyarat Al-Qur’an yang membicarakan
peroalan-perosalan sains dan teknologi dan bidang keilmuan lainnya.
Bercermin pada wahyu pertama kali
turun kepada Rasulullah Saw., Allah adalah untuk mencanangkan dan mendorong
manusia agar mencari dan menggali ilmu pengetahuan, yaitu dengan kata-kata “iqra” (Q.S. Al-‘Alaq ayat 1-5). Dalam
ayat-ayat permulaan itu ada kata-kata “qalam”
yang berarti pena yang biasa menjadi lambang ilmu pengetahuan. Dengan demikian
muncul berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi melalui semangat dan spirit Al-Qur’an.
Makin banyak di gali ayat-ayat Al-Qur’an itu, makin banyak pula didapati
isyarat tersebut. Hal itu karena Al-Qur’an tidak akan habis-habisnya walaupun
ditulis dengan tinta lautan yang luas, bahkan di tambah dengan tujuh lautan
lagi (Q.S. Luqman ayat 27).
Tuntunan dan anjuran untuk
mempelajari Al-Qur’an dan menggali kandungannya serta menyebarkan
ajaran-ajarannya dalam praktek kehidupan masyarakat merupakan tuntunan yang
tidak akan pernah habis. Menghadapi tantangan dunia modern yang bersifat sekuler
dan materialistis, umat Islam dituntut untuk menunjukan bimbingan dan ajaran
Al-Qur’an yang mampu memenuhi kekosongan nilai moral kemanusiaan dan
spiritualitas, di samping membuktikan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang bersifat
rasional dan mendorong umat manusia untuk mewujudkan kemajuan dan kemakmuran
serta kesejahteraan. Banyak ungkapan Al-Qur’an yang secara langsung maupun
tidak tersirat mengajarkan pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu alam,
social dan humaniora. Meski bukan ilmu an-sich sebagai tujuan, tetapi dari
semua isyarat tentang ilmu pengetahuan, yang diungkap oleh Al-Qur’an yang
tidak dikenal pada masa turunnya, seperti dikatakan Dr. Aurice Bucaille dalam
bukunya Al-Qur’an, Bible dan Sains Modern, telah terbukti tak satupun yang
bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.
Isyarat Al-Qur’an tentang ilmu
pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu pengetahuan hanyalah salah satu
bukti kemu’jizatannya. Ajaran Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan tidak hanya
sebatas ilmu pengetahuan (science)
yang bersifat fisik dan empiric sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada
hal-hal nomena yang tak terjangkau oleh rasio manusia (Q.S. 17:18, 30:7,
69:38-39). Dalam hal ini fungsi dan penerapan ilmu pengetahuan juga tidak hanya
untuk kepentingan ilmu dan kehidupan manusia semata, tetapi lebih tinggi lagi
untuk mengenal tanda-tanda, hakikat wujud dan kebesaran Allah SWT. serta
mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (Q.S. 2:164,
5:20-21, 41:53).
Nilai-nilai Qurani secara garis
besar adalah nilai kebenaran (metafisis dan saintis) dan nilai moral. Kedua
nilai Qur’ani ini akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan
penghidupannya.
B.
Aktualisasi dalam Sistem Pendidikan Islam
Sesuai perkembangan masyarakat yang
semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi
informasi, maka aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an menjadi sangat penting.
Karena tanpa aktualisasi kitab suci ini, umat Islam akan menghadapi kendala
dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qur’ani sebagai upaya pembentukan pribadi
umat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, maju dan mandiri.
Secara normative, tujuan yang ingin
dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan
meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan
oleh pendidikan. Pertama, dimensi spiritual, yaitu iman, taqwa dan akhlak mulia
(yang tercermin dalam ibadah dan mu’amalah). Dimensi spiritual ini tersimpul
dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat control psikis dan sosial
bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan berada dengan kumpulan
hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya.
Rasulullah Saw merupakan sumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh orang
mukmin, seperti sabdanya. “Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Pendidikan Akhlak dalam Islam
tersimpul dalam prinsip “berpegang teguh pada kebaikan dan kebijakan serta
menjauhi keburukan dan kemungkaran” berhubungan erat dengan upaya
mewujudkan tujuan dasar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan dan
beribadah kepada Allah SWT.
Kedua, dimensi budaya, yaitu
kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Dimensi ini secara universal menitikberatkan pada pembentukan
kepribadian muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan
pengembangan factor dasar (bawaan) dan factor ajar (lingkungan atau miliu),
dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman. Faktor dasar dikembangkan dan
ditingkatkan kemampuan melalui bimbingan dan pembiasaan berfikir, bersikap dan
bertingkah laku menurut norma-norma Islam. Sedangkan faktor ajar dilakukan
dengan cara mempengaruhi individu melalui proses dan usaha membentuk kondisi
yang mencerminkan pola kehidupan yang sejalan dengan norma-norma Islam seperti
teladan, nasehat, anjuran, ganjaran, pembiasaan hukuman dan pembentukan
lingkungan serasi.
Ketiga, dimensi kecerdasan yang
membawa kepada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja,
professional, inovatif dan produktif. Diemsni kecerdasan dalam pandangan
prikologi merupakan sebuah proses yang mencakup tiga proses yaitu analisis,
kreativitas dan praktis. Kecerdasan apapun bentuknya, baik IQ, ISQ dan
lain-lain saat ini diukur dengan tes-tes prestasi di sekolah, dan bukan
merupakan prestasi di dalam kehidupan. Dulu kecerdasan itu diukur dengan
membandingkan usia mental dengan usia kronologis, tetapi saat ini tes IQ
membandingkan penampilan individu dengan rata-rata bagi kelompok dengan usia
yang sama. Tegasnya dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman nilai-nilai
Al-Qur’an dalam pendidikan.
POTENSI MANUSIA
A. Pengertian
Potensi Manusia
Potensi diri merupakan
kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, yang
dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara
maksimal.
Manusia menurut agama islam adalah makhluk Allah yang berpotensi. Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang menunjuk
pada manusia, yang di gunakan adalah basyar insan atau nas dan bani Adam.
Kata basyar diambil dari
akar kata yang berarti ‘penampakan sesuatu dengan baik dan indah’. Dari
kata itu juga, muncul kata basyarah yang artinya ‘kulit’. Jadi, manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda
dengan kulit binatang. Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka
bumi. Alasan mengapa dipilih sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai
potensi.
B.
Macam-Macam
Potensi Manusia
Manusia
memiliki potensi diri
yang dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu:
1. Potensi Fisik (Psychomotoric)
Potensi
diri ini dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk saling membagi kepentingan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya hidung untuk mencium bau, tangan
untuk menulis, kaki untuk berjalan, telinga untuk mendengar, dan mata untuk
melihat.
2. Potensi Mental Intelektual (Intellectual Quotient)
Potensi
diri ini adalah potensi kecerdasan yang terdapat di otak manusia (terutama otak
bagian kiri). Fungsi dari potensi ini yaitu untuk merencanakan sesuatu,
menghitung dan menganalisis.
3.
Potensi Sosial Emosional (Emotional Quotient)
Potensi
diri ini sama dengan potensi mental intelektual, tetapi potensi ini terdapat di
otak manusia bagian kanan. Fungsinya yaitu untuk bertanggung jawab,
mengendalikan amarah, motivasi, dan kesadaran diri.
4.
Potensi Mental Spiritual (Spiritual Quotient)
Potensi
ini merupakan potensi kecerdasan yang berasal dari dalam diri manusia yang
berhubungan dengan kesadaran jiwa, bukan hanya untuk mengetahui norma, tapi
untuk menemukan norma.
5. Potensi Daya Juang
(Adversity Quetient)
Sama seperti potensi mental spiritual, potensi daya
juang juga berasal dari dalam diri manusia dan berhubungan dengan keuletan,
ketangguhan, dan daya juang yang tinggi.
Sedangkan apabila kita
merenungkan, sejarah kehidupan manusia di awali sejarah Nabi Adam dan anak
cucunya yang mendiami muka bumi ini. Mereka yang dibesarkan oleh perkembangan
zaman, lalu disusul dengan terwujudnya kesejahteraan di bumi ini.
Beberapa potensi
manusia menurut agama islam yang diberikan oleh Allah SWT.:
1. Potensi
Akal
Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun
konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan. Dengan
potensi ini, manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya
sebagai pemimpin di muka bumi. Namun, factor subyektifitas manusia dapat mengarahkan
manusia pada kesalahan dan kebenaran.
2. Potensi
Ruh
Manusia memiliki ruh. Banyak mendapat para ahli
tentang ruh. Ada yang mengatakan bahwa ruh pada manusia adalah nyawa. Sementara
sebagian yang lain mengalami ruh pada manusia sebagai dukungan dan peneguhan
kekuatan batin. Soal ruh ini memang bukan urusan manusia karena manusia
memiliki sedikit ilmu pengetahuan. Bukankah urusan ruh menjadi urusan Tuhan.
Allah SWT berfirman:
“Katakanlah:
‘ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”
(QS. Al-Isra’: 85)
3. Potensi
Qalbu
Qalbu
disini tidak dimaknai sebagai hati yang ada pada manusia. Qalbu
lebih mengarah pada aktifitas rasa yang bolak-balik. Sesekali senang, sesekali
susah, kadang setuju kadang menolak.
Qalbu
berhubungan dengan keimanan. Qalbu
merupakan wadah dari rasa takut, cinta, kasih sayang, dan keimanan. Karena qalbu ibarat sebuah wadah, ia berpotensi
menjadi kotor atau tetap bersih.
4. Potensi
Fitrah
Manusia pada saat lahir memiliki potensi fitrah.
Fitrah disini tidak dimaknai melulu sebagai sesuatu yang suci. Fitrah disini adalah
bahwa sejak lahir fitrah manusia adalah membawa agama yang benar. Namun, kondisi
fitrah ini berpotensi tercampur dengan yang lain dalam proses pembentukannya.
5. Potensi
Nafs
Dalam bahasa Indonesia, nafs diserap menjadi nafsu berarti ‘dorongan kuat berbuat kurang
baik’. Sementara nafs yang ada pada
manusia tidak hanya dorongan berbuat buruk, tetapi berpotensi berbuat baik.
Dengan kata lain, nafs ini berpotensi
positif dan negative.
Melekatnya nafs
pada diri manusia cenderung berpotensi positif. Namun, potensi negative daya tariknya lebih kuat dari pada potensi
positif. Oleh karena itu manusia diminta menjaga kesucian nafsnya
agar tidak kotor.
Sebagai manusia, fitrah kita cenderung mengarah kepada
hal-hal baik dan terpuji. Namun, karena
manusia diberi akal, nafsu dan syahwat. Bisa jadi kedua tipe akhlak tersebut
ada pada diri kita. Tetapi karena manusia memiliki hawa nafsu, maka
dari itulah derajat
manusia lebih tinggi daripada
malaikat, syetan, bahkan
semua makhluk ciptaan
Allah.
C. Ayat-Ayat tentang Potensi Manusia
Surat Al
an’am ayat 79
الْمُشْرِكِينَ
مِنَ أَنَا وَمَا حَنِيفًا وَالْأَرْضَ السَّمَاوَاتِ فَطَرَ لِلَّذِي وَجْهِيَ وَجَّهْتُ
إِنِّي
“(Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku) aku menghadapkan diri dengan beribadah (kepada Tuhan yang telah
menciptakan) yang telah mewujudkan (langit dan bumi) yaitu Allah swt. (dengan
cenderung) meninggalkan semua agama untuk memeluk agama yang benar (dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan) Allah.”
Ø MUFRODAT
وَجَّهْتُ
: aku menghadapkan
diri
فَطَرَ :
mewujudkan
حَنِيفًا
: yang benar
الْمُشْرِكِينَ : orang-orang yang mempersekutukan
Ø TAFSIR
Setelah
Allah swt. mengisahkan kelepasan diri Nabi Ibrahim a.s. dari kemusyrikan
kaumnya, Allah swt. mengisahkan pula kelanjutan dari pada kelepasan diri itu
dengan menggambarkan sikap Ibrahim a.s dan akidah tauhidnya yang murni, yaitu
Ibrahim a.s. menghadapkan dirinya dalam ibadah ibadahnya kepada Allah yang
menciptakan langit dan bumi.
Dia pula yang menciptakan benda-benda langit yang terang benderang di angkasa
raya dan yang menciptakan manusia seluruhnya, termasuk pemahat patung-patung
yang beraneka ragam bentuknya.
Ibrahim
a.s. cenderung kepada agama tauhid dan menyatakan bahwa agama agama lainnya
adalah batal dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Dia
seorang yang berserah diri kepada Allah swt. semata.
Ø Asbabun nuzul
Firman
Allah:
: “Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dan pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama
Ibrahim yang lurus. “ (Q.S An Nisa':
125)
Dan
firman-Nya::
“Barang siapa yang menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Q.S. Luqman: 22)
Ø ASPEK TARBAWI
-
Hendaknya senantiasa mengingat Allah
SWT. yang menciptakan seluruh alam.
-
Selalu berserah diri dan beribadah kepada Allah SWT.
وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ
أَسْبَاطًا أُمَمًا وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى إِذِ اسْتَسْقَاهُ قَوْمُهُ أَنِ
اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ
عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ
وَأَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا نَرَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ
كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُو
“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku
yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika
kaumnya meminta air kepadanya:` Pukullah batu itu dengan tongkatmu! `. Maka
memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku
mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka
dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman):` Makanlah
yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu `. Mereka tidak
menganiaya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.”
Ø MUFRODAT
وَقَطَّعْنَاهُمُ : dan mereka kami bagi
وَأَوْحَيْنَا : dan kami wahyukan
اضْرِبْ أَنِ : pukullah
فَانْبَجَسَتْ : maka memancarlah
وَظَلَّلْنَا : dan kami naungkan
الْغَمَامَ : awan
Ø TAFSIR
Allah membagi kaum Musa, baik yang beriman kepada Allah
maupun yang ingkar kepada-Nya menjadi dua belas suku yang dinamakan "Sibt". Pada suatu perjalanan di
tengah-tengah padang pasir, kaumnya menderita kehausan, maka Allah mewahyukan
kepada Musa agar ia memukulkan tongkatnya ke sebuah batu. Setelah Musa
memukulkannya, maka terpancarlah dari batu itu dua belas mata air, sesuai
dengan banyaknya suku-suku Bani Israil. Untuk masing-masing suku disediakan
satu mata air dan mereka telah mengetahui tempat minum mereka; untuk menjaga
ketertiban dan menghindarkan berdesak-desakan.
Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa a.s. untuk
membuktikan kerasulannya dan untuk memperlihatkan kekuasaan Allah swt. Kalau
dahulu ia memukulkan tongkatnya ke laut sehingga terbentanglah jalan akan
dilalui Bani Israil dari pengejaran Fir’aun dan tentaranya, maka pada kejadian
ini Musa memukulkan tongkatnya ke batu, sehingga keluarlah air dari batu itu
untuk melepaskan haus kaumnya. Kejadian ini di samping merupakan mukjizat bagi
Nabi Musa juga menunjukkan besarnya karunia Allah yang telah dilimpahkan-Nya
kepada Bani Israil.
Di samping karunia itu Allah swt. menyebutkan lagi karunia yang telah
diberikan-Nya kepada Bani Israil, yaitu:
1.
Allah
swt. melindungi mereka dengan awan di waktu mereka berjalan di tengah padang
pasir dan di waktu panas terik matahari yang membakar itu. Jika tidak ada awan
yang melindungi, tentulah mereka terbakar oleh kepanasan matahari. Hal ini
terjadi ketika mereka meninggalkan negeri Mesir dan setelah menyeberangi Laut
Merah. Mereka sampai di gurun pasir di Semenanjung Sinai dan ditimpa panas yang
terik. Karena itu mereka minta agar Musa berdoa kepada Tuhan agar memberikan
pertolongan-Nya. Allah menolong mereka dengan mendatangkan awan yang dapat
melindungi mereka dari panas terik matahari.
2.
Di
samping itu Allah mengaruniakan pula kepala mereka makanan yang disebut "al-manna" semacam makanan
yang manis seperti madu yang turun terus-menerus dari langit sejak fajar
menyingsing sampai matahari terbit. Di samping itu dianugerahkan Allah pula
kepada mereka bahan makanan semacam burung puyuh yang disebut "salwa."
3.
Allah
memerintahkan kepada mereka agar memakan makanan yang halal yang baik,
berfaedah bagi jasmani dan rohani, akal dan pikiran. Allah swt telah
melimpahkan karunia-Nya yang amat besar bagi Bani Israil tetapi mereka tidak
mau bersyukur, bahkan mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dilarang
Allah, ingkar kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya yang berakibat mereka
mendapat azab dan siksaan-Nya. Mereka disiksa itu semata-mata karena perbuatan
mereka sendiri, bukanlah karena Allah hendak menganiaya mereka. Tersebut dalam
sebuah hadis Qudsi:
: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan
(mengerjakan) kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan perbuatan zalim itu
(sebagai suatu perbuatan) yang diharamkan di antaramu, maka janganlah kamu
saling berbuat zalim (di antara sesamamu). Wahai hamba-hamba-Ku, kamu
sekali-kali tidak akan dapat menimbulkan kemudaratan kepada-Ku, sehingga Aku
memperoleh kemudaratan karenanya, dan kamu sekalian tidak dapat memberi manfaat
kepada-Ku sehingga Aku memperoleh manfaat karenanya.”
Ø ASPEK TARBAWI
-
Hendaknya
selalu bersyukur atas rejeki yang diberikan
oleh Allah SWT.
-
Memakan
makanan yang baik dan halal.
Surat Al.mudatsir ayat 27
(٢٧) سَقَرُ مَا أَدۡرَٮٰكَ وَمَآ
“Dan
apa jalannya engkau dapat mengetahui kedahsyatan neraka Saqar itu?”
Ø MUFRODAT
Neraka
saqar : سَقَرُ
Ø TAFSIR
Dalam ayat
ini digambarkan pula betapa sifat neraka Saqar itu. Perkataan "wa ma adra
ka" (dan tahukah engkau) dalam bahasa Arab menunjukkan besar dan sangat
dahsyatnya masalah yang dipertanyakan. Apakah yang engkau ketahui tentang
Saqar? Dan pasti tidak seorang pun mengetahuinya dan mencapai hakikat
sebenarnya kecuali dengan keterangan yang diberikan oleh wahyu.
Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak mengembalikan.
Artinya setiap tubuh manusia yang dibakarnya tidak satupun yang tersisa dari
daging maupun tulang. Dan dikembalikan lagi tubuh yang telah hangus itu menjadi
baru dan segar tetapi kemudian dibakarnya lagi sampai hangus untuk kedua kali
dan seterusnya.
Keterangan
seperti ini kita peroleh dari ayat lain yang artinya:
“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti
kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab……” (Q.S.
An Nisa': 56).
Ø ASPEK TARBAWI
-
Segala
perbuatan baik ataupun buruk yang kita lakukan akan ada balasannya.
-
Kita
harus selalu mengingat bahwa siksa Allah sangatlah pedih.
Surat Al-anbiya’ ayat 34-35
ۗ ٱلۡمَوۡتِ ذَآٮِٕقَةُ نَفۡسٍ۬ كُلُّ (٣٤) ٱلۡخَـٰلِدُونَ فَهُمُ مِّتَّ أَفَإِيْن ۖ ٱلۡخُلۡدَ قَبۡلِكَ مِّن
لِبَشَرٍ۬ جَعَلۡنَا وَمَا
(٣٥)تُرۡجَعُونَ وَإِلَيۡنَا ۖ فِتۡنَةً۬ وَٱلۡخَيۡرِ بِٱلشَّرِّ وَنَبۡلُ
34. “Dan Kami tidak menjadikan seseorang manusia sebelummu dapat hidup kekal
(di dunia ini). Maka kalau engkau meninggal dunia (wahai Muhammad), adakah
mereka akan hidup selama-lamanya?”
35. “Tiap-tiap diri akan merasai mati, dan Kami menguji kamu dengan
kesusahan dan kesenangan sebagai cubaan; dan kepada Kamilah kamu semua akan
dikembalikan.”
Ø MUFRODAT
Hidup kekal :ٱلۡخُلۡدَ
Engkau meninggal dunia :مِّتَّ
Setiap jiwa :نَفۡسٍ۬ كُلُّ
Dan Kami
menguji : وَنَبۡلُ
Cobaan : فِتۡنَةً۬
Akan
dikembalikan :تُرۡجَعُونَ
Ø TAFSIR
Penjelasan ayat
ini adalah bahwa tidak ada yang kekal dikehidupan ini. Orang-orang musyrik
bergembira jika musibah kematian menimpa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka mengatakan : “Kita menunggu ajal menimpanya”.
Ayat ini
menjelaskan bahwa semua yang makhluk bernafas di muka bumi ini akan mati, baik
Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Nabi dan Rasul sebelumnya.
Kegembiraan orang-orang musyrik atas kematian beliau tidak berguna sama sekali,
karena mereka pun juga akan mati.
Dalam ayat ini
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (yang maknanya): “wahai Muhammad, Kami tidak menjadikan anak cucu Adam
hidup abadi di dunia ini sebelum kamu; sehingga Aku mengabadikan kamu; dan kamu
akan mati sebagaimana mereka”.
Di dalam ayat
yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ
ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.
Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (al-‘Ankabût: 57)
Setiap orang
akan menemui ajalnya. Ini tidak bisa dipungkiri, baik bagi yang pergi berperang
maupun yang tidak, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan manusia
dari kematian, karena sesungguhnya ajal sudah ditentukan”.
Jadi, setiap yang bernyawa di muka bumi ini baik manusia, jin maupun hewan,
akan mati dan tidak ada yang dijadikan hidup abadi oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Imam Ibnu
Katsir berkata tentang firman Alloh “Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan”, yaitu Kami akan menguji kamu kadang-kadang dengan
musibah-musibah dan kadang-kadang dengan kenikmatan-kenikmatan, sehingga Alloh
akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan
siapa yang berputus asa. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas: “Kami akan
menguji kamu dengan kesusahan dan kemakmuran, kesehatan dan sakit, kekayaan dan
kemiskinan, halal dan harom, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan”.
(Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anbiya’ : 35)
Banyak manusia
berputus asa dengan kesusahan yang mereka alami, seolah-olah kesusahan itu
tidak akan hilang dari mereka. Namun sebaliknya, jika manusia itu mendapatkan
berbagai macam kesenangan dan kenikmatan, maka kebanyakan mereka melupakan
kepada Penciptanya. Mereka menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan
kenikmatan itu, mereka menganggap itu semua karena usahanya dan kepandaiannya.
Kemudian kebanyakan mereka berbuat melewati batas.
Imam Ibnu
Katsir berkata: “Alloh Ta’ala memberitakan tentang manusia dan sifat-sifat
tercela yang ada padanya, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Alloh, yaitu
hamba-hambaNya yang beriman. Bahwa manusia itu jika ditimpa oleh kesusahan
setelah kenikmatan, dia berputus asa dari kebaikan terhadap masa depan, dan dia
mengingkari (kebaikan) yang telah lewat, seolah-olah dia tidak pernah melihat
kebaikan, dan setelah itu dia tidak berharap kelonggaran. Demikian juga jika
manusia itu mengalami kenikmatan setelah kesusahan, “dia akan berkata: “Telah
hilang bencana-bencana itu daripadaku”, yaitu: setelah ini kesusahan dan
keburukan tidak akan menimpaku lagi.
FirmanNya: “
Sesungguhnya
dia sangat gembira lagi bangga“, yaitu dia bergembira dan bersombong
dengan apa yang ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain”. FirmanNya: “
Kecuali
orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi kesusahan-kesusahan dan
perkara-perkara yang tidak disukai; firmanNya “
dan mengerjakan amal-amal
saleh“, yaitu pada waktu longgar dan sehat; firmanNya: “
mereka itu
beroleh ampunan“, yaitu dengan sebab kesusahan yang mereka alami;
firmanNya: “
dan pahala yang besar“, dengan sebab amalan mereka pada
waktu longgar”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Huud: 9-11)
Ø ASBABUN
NUZUL
Ada dua sebab
turunnya ayat ini, keduanya dengan shîghah sharîhah (bentuk kalimat yang
jelas), akan tetapi sanad keduanya munqati’ (terputus). Pertama diriwayatkan
dari Muqathil rahimahullah yang mengatakan:“Sebab turunnya ayat ini adalah
ketika sebagian orang berkata bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak akan mati.”
Kedua Ibnul
Mundzir rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Juraij rahimahullah yang
mengatakan:“Diberitakan kepada
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau akan wafat, kemudian beliau
berkata:“ Wahai Rabbku, siapakah yang akan mendidik umatku?” Kemudian turunlah
ayat ini.
Ø ASPEK
TARBAWI
-
Harus selalu bersyukur terhadap nikmat dan bersabar
terhadap musibah.
-
Beramal sholih pada setiap saat sesuai dengan kemampuan
kita.
-
Selalu mengingat bahwa setiap yang bernyawa akan
merasakan kematian.
Surat An-Nisa’
ayat 6
وَلَا ۖ أَمۡوَٲلَهُمۡ إِلَيۡہِمۡ فَٱدۡفَعُوٓاْ رُشۡدً۬ا
مِّنۡہُمۡ ءَانَسۡتُم فَإِنۡ ٱلنِّكَاحَ بَلَغُواْ إِذَا حَتَّىٰٓ ٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱبۡتَلُواْ
فَلۡيَأۡكُلۡ قِيرً۬افَكَانَ وَمَن
ۖ فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ اغَنِيًّ۬كَانَ وَمَن
ۚ يَكۡبَرُواْ أَن وَبِدَارًا إِسۡرَافً۬ا تَأۡكُلُوهَآ
(٦) حَسِيبً۬ا بِٱللَّهِ وَكَفَىٰ
عَلَيۡہِمۡ فَأَشۡہِدُواْ أَمۡوَٲلَهُمۡ إِلَيۡہِمۡ دَفَعۡتُمۡ فَإِذَا ۚ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
“Dan
ujilah anak-anak yatim itu (sebelum baligh) sehingga mereka cukup umur
(dewasa). Kemudian jika kamu nampak dari keadaan mereka (tanda-tanda yang
menunjukkan bahawa mereka) telah cerdik dan berkebolehan menjaga hartanya, maka
serahkanlah kepada mereka hartanya; dan janganlah kamu makan harta anak-anak
yatim itu secara yang melampaui batas dan secara terburu-buru (merebut peluang)
sebelum mereka dewasa. Dan sesiapa (di antara penjaga harta anak-anak yatim itu)
yang kaya maka hendaklah ia menahan diri (dari memakannya); dan sesiapa yang
miskin maka bolehlah ia memakannya dengan cara yang sepatutnya. Kemudian
apabila kamu menyerahkan kepada mereka hartanya, maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (yang menyaksikan penerimaan) mereka. Dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (akan segala yang kamu lakukan).”
Ø MUFRODAT
Dan ujilah :وَٱبۡتَلُواْ
Cukup umur :بَلَغُواْ
Maka serahkanlah :فَٱدۡفَعُوٓاْ
Harta mereka : أَمۡوَٲلَهُمۡ
Dan janganlah kamu
makan :تَأۡكُلُوهَآ وَلَا
Ø TAFSIR
رُشۡدً۬ا مِّنۡہُمۡ ءَانَسۡتُم : kalian
melihat ke dalam diri mereka sudah mulai bisa mentasarrufkan harta.
Al-israf :
melebihi batas dalam membelanjakan harta
Al-bidar :
bersegera dan cepat-cepat kepada sesuatu. Dikatakan Badartu ila syai’in badartu ilaihi, artinya aku bersegera
kepadanya.
Fal yasta’fif :
hendaknya ia menjaga kehormatannya.
Al-‘iqqah :
adalah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak layak dilakukan.
Al-hasib :
yang mengawasi
Dijelaskan bahwa harta benda mereka
(anak-anak yatim) tidak boleh diserahkan kepada mereka kecuali jika para
walinya telah melihat tanda-tanda kedewasaan dalam diri mereka. Sesungguhnya
tidak layak bagi seorang wali memakan harta anak yatim (apabila ia miskin)
dengan cara berlebih-lebihan, dan barang siapa di antara wali itu kaya, maka
hendaklah ia menjaga diri jangan sampai memakan harta mereka. Barang siapa
menjadi wali tetapi miskin, hendaknya ia memakannya dengan ketentuan hokum
syara’ dan dipandang pantas oleh orag-orang bijaksana.
Seluruh umat islam telah berpendapat
bahwa harta anak yatim bukan harta milik pengasuhnya. Wali sedikitpun tidak
berhak memakannya. Tetapi ia dibolehkan mengambil darinya sebagai hutang ketika
dalam keadaan terdesak, sebagaimana anak yatim itu berhutang kepadanya.
Kemudian ia pun dipebolehkan mengupah dirinya dari harta anak yatim dengan upah
yang telah ditentukan, apabila anak yatim itu memerlukan pekerjaan tersebut,
seperti halnya anak yatim itu mengupah orang lain untuk melakukannya. Upah
tersebut boleh ditentukan oleh sang wali, jika memang harta anak yatim itu
berjumlah banyak, tetapi tidak boleh ditentukan apabila tidak banyak (miskin).
Demikian pula, ketentuan-ketentuan itu berlaku bagi harta orang-orang gila dan
setengah gila.
Telah diriwayatkan oleh Ahmad dari
Ibnu Umar ra. Bahwa ada laki” bertanya kepada Nabi saw. “aku tidak mempunyai
harta, tetapi aku adalah seorang wali dari anak yatim.” Kemudian Nabi saw.
bersabda: “makanlah oleh kamu sebagian
harta anak yatimmu tanpa berlebih-lebihan dan (juga) tanpa
menghambur-hamburkannya dan (juga) tanpa mengindahkan hartamu dengan hartanya.”
Ø ASPEK
TARBAWI
-
Hendaknya menguji anak-anak yatim,
hingga mereka mencapai dewasa dan mampu memelihara harta.
-
Bahwasannya kita dilarang memakan harta
orang lain (dalam ayat ini yang dimaksud adalah harta anak yatim).
-
Menahan diri dari sifat israf berlebih-lebihan.
Ø KESIMPULAN
Pada prinsipnya Allah SWT.
Sebagaimana yang telah anda ketahui meliputi harta anak yatim, dengan berbagai
cara pengamanan dan pemeliharaan. Untuk itu Dia memerintahkan sang wali agar
terlebih dahulu menguji kemampuan penggunaan harta anak yatim, sebelum hartanya
diserahkan kepadanya. Kemudian Allah melarang sang wali memakan sesuatu dari
harta anak yatim dengan cara berlebih-lebihan dan mumpung anak yatim masih kecil. Allah juga memerintahkan sang wali
agar mengadakan saksi ketika serah terima, dan memerintahkan di akhir ayat sang
wali agar mengingat akan pengawasan Allah terhadap segala gerak-gerik yang bersifat pribadi.
Surat
QS An-nur ayat 27
خَيْرٌ ذَٰلِكُمْ ۚ أَهْلِهَا عَلَىٰ وَتُسَلِّمُوا
تَسْتَأْنِسُوا حَتَّىٰ بُيُوتِكُمْ غَيْرَ وتًابُيُتَدْخُلُوا لَا آمَنُوا الَّذِينَ
أَيُّهَا يَا
تَذَكَّرُونَ لَعَلَّكُمْ
لَكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk ke dalam rumah-rumah yang bukan
rumahmu, sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Itulah yang
lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat”.
Ø MUFRODAT
بُيُوتِكُمْ : rumah
kamu
ءَامَنُوا۟ :
beriman
تَدْخُلُوا۟ : kamu masuk
عَلَىٰٓ : Atas/
kepada
خَيْرٌ :
Lebih baik
بُيُوتًا :
Rumah-rumah
تَذَكَّرُونَ : Kamu Ingat
Ø TAFSIR
Dalam ayat 27
diterangkan bahwa orang-orang Mu'min dilarang memasuki pekarangan rumah orang
kalau yang empunya tidak izin. Rumah adalah tempat menyimpan rahasia kerumah
tanggaan. Sebab setiap mempunyai dua wajah hidup, hidup kemasyarakatan dan
hidup urusan peribadi. Orang keluar dari dalam rumahnya dengan pakaian yang
pantas, orang pergi ke Jum'at dengan perhiasan yang patut, meskipun keadaannya
dalam rumah tangganya adalah serba kurang.
Dalam rumah tangganya
orang dapat memakai kaos singlet yang robek dan sarung yang telah bertambal-tambal.
Orang luar tidak boleh tahu itu. Keluar kelihatan orang gagah, dan kalau
menjamu orang lain makan ke dalam rumahnya akan disediakannya makanan yang agak
istimewa daripada makanannya sehari-hari. Tetapi dalam waktu yang tidak
dicampuri orang lain, mungkin mereka hanya makan sekali sehari dengan laukpauk
yang serba kurang.
Orang luar tidak boleh
mengetahui itu. Kadang-kadang terjadi perselisihan suami dan isteri dalam
perkara yang kecil-kecil, entah karena kekurangan belanja, entah karena
kenakalan anak. Orang luar tidak perlu tahu akan hal itu. Urusan rumah tangga
adalah urusan tersendiri dalam rumahtangga itu tersendiri, yang tidak boleh
diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu menurut peraturan agama Islam yang
dijelaskan dalam ayat ini, sekali-kali tidak boleh seorang yang merasa dirinya
beriman kepada Tuhan dan taat kepada Rasul, masuk saja ke dalam rumah orang,
siapa pun orangnya, kalau tidak dengan izinnya.
Tidak perduli apakah
rumah itu istana presiden yang lengkap penjaga dan pengawalnya, ataupun gubuk
buruk beratapkan rumbia di lorong yang sempit penuh lumpur. Namun kedaulatan
penghuni rumah itu atas rumahnya tetaplah sama.
Bagaimana seseorang
yang pulang dari kerja keras mengurus penghidupan, menanggalkan pakaian yang
lekat di tubuh, tinggal baju kaos dan celana katok (celana dalam) tiba-tiba
dalam keadaannya demikian itu datang' saja orang lain tanpa salam dan tanpa
memberitahu? Dan masuk saja tanpa izin? Bagaimana perasaan seorang perempuan
terhormat, sedang dia hanya berkutang sehelai dan berkain sesampul gantung,
merasa aman karena hanya dengan suaminya dan anak-anaknya, tiba-tiba muncul
saja orang lain dari pintu, padahal hubungan dengan orang lain itu selama ini
adalah dalam batas kesopanan?
Di dalam hal ini
diterangkan benar, jangan masuk ke dalam sebuah rumah sebelum tasta'nisun, artinya diketahui benar
terlebih dahulu bahwa yang empunya rumah sedang senang, sedang gembira menerima
tamu. Wa tusallimu, artinya dengan disertai ucapan salam kepada sahibul bait
yang empunya rumah. Maka kedua syarat ini tidak boleh terpisah, kesukaan yang
empunya rumah dan ucapan salam. Sekali-sekali jangan menerobos saja masuk
sambil mengucapkan salam, padahal yang empunya rumah belum menyatakan suka
menerima kita, jangan pula masuk saja sebelum mengucapkan salam.
Ø ASPEK
TARBAWI
Hendaknya
mengundang orang-orang yang bertaqwa, bukan orang yang fasiq. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu bersahabat kecuali
dengan seorang mu`min, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang
bertaqwa”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
· Jangan
hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang
fakir. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersbda: “Seburuk-buruk
makanan adalah makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya
orang-orang kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).
· Undangan
jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi
niat untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan
membahagiakan teman-teman sahabat.
· Tidak
memaksa-maksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu
anhu ia menuturkan: “Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia
berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR.
Al-Bukhari)
· Jangan
anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan
kewibawaan.
· Jangan
kamu menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan
dengan kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.
· Hendaklah
segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti
menghormatinya.
· Jangan
tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hida-ngan) sebelum tamu selesai
menikmati jamuan.
· Disunnatkan
mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang
baik dan penuh perhatian.
QS
Ar-ruum ayat 30
الدِّينُ لِكَ ذَٰ اللَّهِ ۚلِخَلْقِ تَبْدِيلَ لَا ۚ عَلَيْهَاالنَّاسَ فَطَرَ الَّتِي اللَّهِ فِطْرَتَ حَنِيفًا لِلدِّينِ وَجْهَكَ فَأَقِمْ
يَعْلَمُونَ لَا النَّاسِ أَكْثَرَ وَلَٰكِنَّ الْقَيِّمُ
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
Ø MUFRODAT
النَّاسَ :
Manusia
وَجْهَكَ : Wajahmu تَبْدِيلَ : Perubahan
لِلدِّينِ :
Wajahmu أَكْثَرَ : Kebanyakan
حَنِيفًا : Dengan lurus يَعْلَمُونَ : Mengetahui.
فِطْرَتَ :
Fitrah
Ø
TAFSIR
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang
dimaksud adalah “al-dinu al-Qayyim”
agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh
faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits
diatas digambarkan dengan faktor orang tua.
Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada
potensi-potensi psikologis yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar.
Diantara potensi psokologis tersebut adalah:
1.
Beriman kepada Allah
SWT.
2.
Kecenderungan untuk menerima kebenaran,
kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
3.
Dorongan ingin tahu untuk mencari
hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir.
4.
Dorongan biologis yang berupa syahwat
dan tabiat
5.
Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat
manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.
Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa
oleh manusia adakalanya:
1.
Fitrah
al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia
yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql),
yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
2.
Fitrah
al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri
manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan
sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.
Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada
diri manusi merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat
kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju
pada kesempurnaan dan kebenaran.
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang
dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang
menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan
pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan secara
wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan
as-Sunnah), sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur
yang benar secara kaamilah. Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk
mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim),
hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan
metode yang amat tepat dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode
pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik.
Dalam hadis lain disebutkan:
عَنْ
اَ نَسْ بِنْ مَلِكْ عن رَسُوْ الله صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم , قَلَ أَ كْرَ
مُوْ أَ وْ لاَدَ كُمْ وَأ حْسَنُوْ أدْ بَهُمْ
“Dari Anas bin Malik,
dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab
mereka.” (HR. Ibn Majah)
Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia
sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak
usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar
dengan pendidikan kepribadian (akhlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini
orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang
pertama kali yang bersentuhan dengan seorang anak.
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di
luar dirinya secara objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai
adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi
SAW mengingatkan agar orang tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa
hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta
mengembangkan minat dan bakat.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam
kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam
rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban
tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu
bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam
kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola
pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi
digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan
aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik :
emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan
humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia
yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan
dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan
penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun
juga.
DAFTAR PUSTAKA