Sabtu, 18 Mei 2013

percikan air

air di sini masih menanti dan merindukan api ,,
berusaha sedemikian adanya untuk memantaskana diri ..
sebenarnya sulit untuk berkata-kata ..
hingga yang terucap , hanya kata yang membuat rancu benak dan pikir..

masih terngiang ,, akan nasehat seorang senior+kakak d.khidupan ini..
"pantaskan diri manakala engkau ingin bersanding dengan seseorang..
jodoh itu sama halnya rejeki ,, yang akan lebih baik jika kau baik dalam mencarinya..
tujuannya dan penggunaannya "...

tag ada orang yang mengharap hal yang buruk terhadapnya ,, walo ia jahat sekalipun..
demikian halnya aku ,,
yang aku tahu ,, aku bukan seseorang yang baik ,, penuh dengan masa lalu kelam ..
dan aku ......
aku mengharap dia yang begitu terjaga ..
pantaskah???

kata orang ,, "tumbu temu tutup" ... dan di dalam Al-Qur'an sendiri di sebutkan ..
bahwa "laki-laki sholeh d.ciptakan untuk perempuan sholihah"..

harapan ini naik turun ,, kadang menggebu ,, kadang pupus begitu saja ..

Tuhan ,, q harap Engkau kabulkan do'a q...
manakala niat q baik dan tetap dalam rahmat serta ajaran Mu..
walo ak tahu ,, ak tag pantas menghadap Mu..

tapi ,, masih q bharap kau kabulkan do'a q...
masih terus berharap suatu saat nanti ,,
hatinya terbuka untuk q ,, menerima kekurangan q ,,
mengucap kata yang indah dan menjadi mahram q ..

_jika bukan ia ,, ak yaqin .. seseorang yang Engkau kirimkan pasti lebih baik dari harapan q..___

Selasa, 16 April 2013

makalah tafsir tentang potensi manusia


MAKALAH
TAFSIR TARBAWI II

Di susun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah: Tafsir Tarbawi II
Dosen Pengampu: H. Sholahudin, M.Pd.

Di susun oleh:
1.      Nailatus Sa’adah                     2021 111 027
2.      Reira Kurniasari                      2021 111 049
3.      Indah fitriyana                                    2021 111 054
4.      Sobakha Nurul Khusna           2021 111 222
5.      Mareta Sofiana                        2021 111 273
6.      Khumaidah                             2021 111 277
7.      Minhatul Afidah                     2021 111 291
8.      Kholis Arifah                          2021 111 293

Kelas: F

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013
AKTUALISASI NILAI AL QUR’AN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Point utama pembahasan ini adalah mencari upaya yang sungguh-sungguh agar pendidikan Islam menjadi pilihan utama bagi masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan akal pikiran dan sekaligus pencerdasan Qalbu merupakan langkah yang sangat efektif dalam membangun bangsa yang saat ini memerlukan generasi-generasi memiliki kecerdasan intelektual dan cerdas Qalbunya. Kedua kecerdasan ini hanya akan diperoleh bilamana lembaga pendidikan menggali dan menyalami nilai-nilai yang diajarkan Al-Qur’an dalam membangun kualitas Sumber Daya Umat (SDU) yang berkualitas dengan cara mengaktualisasikan nilai-nilai Qurani dalam system pendidikan Islam.

A.      Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai

Al-Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk yang universal dan sepanjang waktu. Al-Qur’an adalah eksis bagi setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek kehidupan.

Bukan saja ilmu-ilmu keislaman yang digali secara langsung dari Al-Qur’an, seperti ilmu tafsir, fikih dan Tauhid, akan tetapi Al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, karena banyaks ekali isyarat-isyarat Al-Qur’an yang membicarakan peroalan-perosalan sains dan teknologi dan bidang keilmuan lainnya.

Bercermin pada wahyu pertama kali turun kepada Rasulullah Saw., Allah adalah untuk mencanangkan dan mendorong manusia agar mencari dan menggali ilmu pengetahuan, yaitu dengan kata-kata “iqra” (Q.S. Al-‘Alaq ayat 1-5). Dalam ayat-ayat permulaan itu ada kata-kata “qalam” yang berarti pena yang biasa menjadi lambang ilmu pengetahuan. Dengan demikian muncul berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi melalui semangat dan spirit Al-Qur’an. Makin banyak di gali ayat-ayat Al-Qur’an itu, makin banyak pula didapati isyarat tersebut. Hal itu karena Al-Qur’an tidak akan habis-habisnya walaupun ditulis dengan tinta lautan yang luas, bahkan di tambah dengan tujuh lautan lagi (Q.S. Luqman ayat 27).

Tuntunan dan anjuran untuk mempelajari Al-Qur’an dan menggali kandungannya serta menyebarkan ajaran-ajarannya dalam praktek kehidupan masyarakat merupakan tuntunan yang tidak akan pernah habis. Menghadapi tantangan dunia modern yang bersifat sekuler dan materialistis, umat Islam dituntut untuk menunjukan bimbingan dan ajaran Al-Qur’an yang mampu memenuhi kekosongan nilai moral kemanusiaan dan spiritualitas, di samping membuktikan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang bersifat rasional dan mendorong umat manusia untuk mewujudkan kemajuan dan kemakmuran serta kesejahteraan. Banyak ungkapan Al-Qur’an yang secara langsung maupun tidak tersirat mengajarkan pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu alam, social dan humaniora. Meski bukan ilmu an-sich sebagai tujuan, tetapi dari semua isyarat  tentang ilmu pengetahuan, yang diungkap oleh Al-Qur’an yang tidak dikenal pada masa turunnya, seperti dikatakan Dr. Aurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur’an, Bible dan Sains Modern, telah terbukti tak satupun yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.

Isyarat Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu pengetahuan hanyalah salah satu bukti kemu’jizatannya. Ajaran Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan  (science) yang bersifat fisik dan empiric sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada hal-hal nomena yang tak terjangkau oleh rasio manusia (Q.S. 17:18, 30:7, 69:38-39). Dalam hal ini fungsi dan penerapan ilmu pengetahuan juga tidak hanya untuk kepentingan ilmu dan kehidupan manusia semata, tetapi lebih tinggi lagi untuk mengenal tanda-tanda, hakikat wujud dan kebesaran Allah SWT. serta mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (Q.S. 2:164, 5:20-21, 41:53).

Nilai-nilai Qurani secara garis besar adalah nilai kebenaran (metafisis dan saintis) dan nilai moral. Kedua nilai Qur’ani ini akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan penghidupannya.

B.      Aktualisasi dalam Sistem Pendidikan Islam

Sesuai perkembangan masyarakat yang semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an menjadi sangat penting. Karena tanpa aktualisasi kitab suci ini, umat Islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qur’ani sebagai upaya pembentukan pribadi umat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, maju dan mandiri.

Secara normative, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan oleh pendidikan. Pertama, dimensi spiritual, yaitu iman, taqwa dan akhlak mulia (yang tercermin dalam ibadah dan mu’amalah). Dimensi spiritual ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat control psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan berada dengan kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya. Rasulullah Saw merupakan sumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh orang mukmin, seperti sabdanya. “Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Pendidikan Akhlak dalam Islam tersimpul dalam prinsip “berpegang teguh pada kebaikan dan kebijakan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran” berhubungan erat dengan upaya mewujudkan tujuan dasar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan dan beribadah kepada Allah SWT.

Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini secara universal menitikberatkan pada pembentukan kepribadian muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan factor dasar (bawaan) dan factor ajar (lingkungan atau miliu), dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman. Faktor dasar dikembangkan dan ditingkatkan kemampuan melalui bimbingan dan pembiasaan berfikir, bersikap dan bertingkah laku menurut norma-norma Islam. Sedangkan faktor ajar dilakukan dengan cara mempengaruhi individu melalui proses dan usaha membentuk kondisi yang mencerminkan pola kehidupan yang sejalan dengan norma-norma Islam seperti teladan, nasehat, anjuran, ganjaran, pembiasaan hukuman dan pembentukan lingkungan serasi.

Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, professional, inovatif dan produktif. Diemsni kecerdasan dalam pandangan prikologi merupakan sebuah proses yang mencakup tiga proses yaitu analisis, kreativitas dan praktis. Kecerdasan apapun bentuknya, baik IQ, ISQ dan lain-lain saat ini diukur dengan tes-tes prestasi di sekolah, dan bukan merupakan prestasi di dalam kehidupan. Dulu kecerdasan itu diukur dengan membandingkan usia mental dengan usia kronologis, tetapi saat ini tes IQ membandingkan penampilan individu dengan rata-rata bagi kelompok dengan usia yang sama. Tegasnya dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan.






















POTENSI  MANUSIA

A.    Pengertian Potensi Manusia
Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal.
Manusia menurut agama islam adalah makhluk Allah yang berpotensi.  Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang menunjuk pada manusia,  yang  di gunakan adalah basyar insan atau nas dan bani Adam.
Kata basyar  diambil dari  akar  kata yang  berarti ‘penampakan sesuatu  dengan baik dan  indah’. Dari  kata  itu juga, muncul kata basyarah yang  artinya ‘kulit’. Jadi, manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas  dan berbeda  dengan kulit binatang. Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Alasan mengapa dipilih sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi.

B.     Macam-Macam Potensi Manusia
Manusia memiliki potensi diri yang dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu:
1. Potensi Fisik (Psychomotoric)
Potensi diri ini dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk saling membagi kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya hidung untuk mencium bau, tangan untuk menulis, kaki untuk berjalan, telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat.
2. Potensi Mental Intelektual (Intellectual Quotient)
 Potensi diri ini adalah potensi kecerdasan yang terdapat di otak manusia (terutama otak bagian kiri). Fungsi dari potensi ini yaitu untuk merencanakan sesuatu, menghitung dan menganalisis.
3. Potensi Sosial Emosional (Emotional Quotient)
Potensi diri ini sama dengan potensi mental intelektual, tetapi potensi ini terdapat di otak manusia bagian kanan. Fungsinya yaitu untuk bertanggung jawab, mengendalikan amarah, motivasi, dan kesadaran diri.

4. Potensi Mental Spiritual (Spiritual Quotient)
Potensi ini merupakan potensi kecerdasan yang berasal dari dalam diri manusia yang berhubungan dengan kesadaran jiwa, bukan hanya untuk mengetahui norma, tapi untuk menemukan norma.
5. Potensi Daya Juang (Adversity Quetient)
Sama seperti potensi mental spiritual, potensi daya juang juga berasal dari dalam diri manusia dan berhubungan dengan keuletan, ketangguhan, dan daya juang yang tinggi.[1]

Sedangkan apabila kita merenungkan, sejarah kehidupan manusia di awali sejarah Nabi Adam dan anak cucunya yang mendiami muka bumi ini. Mereka yang dibesarkan oleh perkembangan zaman, lalu disusul dengan terwujudnya kesejahteraan di bumi ini.
Beberapa potensi manusia menurut agama islam yang diberikan oleh Allah SWT.:
1.   Potensi Akal
Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan. Dengan potensi ini, manusia dapat melaksanakan  tugas-tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi. Namun, factor subyektifitas manusia dapat mengarahkan manusia pada kesalahan dan kebenaran.
2.   Potensi Ruh
Manusia memiliki ruh. Banyak mendapat para ahli tentang ruh. Ada yang mengatakan bahwa ruh pada manusia adalah nyawa. Sementara sebagian yang lain mengalami ruh pada manusia sebagai dukungan dan peneguhan kekuatan batin. Soal ruh ini memang bukan urusan manusia karena manusia memiliki sedikit ilmu pengetahuan. Bukankah urusan ruh menjadi urusan Tuhan. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: ‘ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” (QS. Al-Isra’: 85)
3.   Potensi Qalbu
Qalbu disini tidak dimaknai sebagai hati yang ada pada manusia.  Qalbu lebih mengarah pada aktifitas rasa yang bolak-balik. Sesekali senang, sesekali susah, kadang setuju kadang menolak.
Qalbu berhubungan dengan keimanan. Qalbu merupakan wadah dari rasa takut, cinta, kasih sayang, dan keimanan. Karena qalbu ibarat sebuah wadah, ia berpotensi menjadi kotor atau tetap bersih.
4.      Potensi Fitrah
Manusia pada saat lahir memiliki potensi fitrah. Fitrah disini tidak dimaknai melulu sebagai sesuatu yang suci. Fitrah disini adalah bahwa sejak lahir fitrah manusia adalah membawa agama yang benar. Namun, kondisi fitrah ini berpotensi tercampur dengan yang lain dalam proses pembentukannya.
5.      Potensi Nafs
Dalam bahasa Indonesia, nafs diserap menjadi nafsu berarti ‘dorongan kuat berbuat kurang baik’. Sementara nafs yang ada pada manusia tidak hanya dorongan berbuat buruk, tetapi berpotensi berbuat baik. Dengan kata lain, nafs ini berpotensi positif dan negative.
Melekatnya nafs pada diri manusia cenderung berpotensi positif. Namun, potensi negative daya  tariknya lebih kuat dari pada potensi positif. Oleh karena itu manusia diminta menjaga  kesucian nafsnya agar tidak kotor.
Sebagai manusia, fitrah kita cenderung mengarah kepada hal-hal baik dan terpuji.   Namun, karena manusia diberi akal, nafsu dan syahwat. Bisa jadi kedua tipe akhlak tersebut ada pada diri kita. Tetapi karena manusia memiliki hawa nafsu,  maka  dari  itulah  derajat  manusia lebih  tinggi  daripada  malaikat,  syetan,  bahkan  semua  makhluk  ciptaan  Allah.

C.    Ayat-Ayat tentang Potensi Manusia

 Surat  Al an’am  ayat  79                          
الْمُشْرِكِينَ مِنَ أَنَا وَمَا حَنِيفًا وَالْأَرْضَ السَّمَاوَاتِ فَطَرَ لِلَّذِي وَجْهِيَ وَجَّهْتُ إِنِّي
“(Sesungguhnya aku menghadapkan diriku) aku menghadapkan diri dengan beribadah (kepada Tuhan yang telah menciptakan) yang telah mewujudkan (langit dan bumi) yaitu Allah swt. (dengan cenderung) meninggalkan semua agama untuk memeluk agama yang benar (dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan) Allah.”
Ø  MUFRODAT
وَجَّهْتُ         : aku menghadapkan diri
فَطَرَ          : mewujudkan
حَنِيفًا           : yang benar
الْمُشْرِكِينَ      : orang-orang yang mempersekutukan
Ø  TAFSIR
Setelah Allah swt. mengisahkan kelepasan diri Nabi Ibrahim a.s. dari kemusyrikan kaumnya, Allah swt. mengisahkan pula kelanjutan dari pada kelepasan diri itu dengan menggambarkan sikap Ibrahim a.s dan akidah tauhidnya yang murni, yaitu Ibrahim a.s. menghadapkan dirinya dalam ibadah ibadahnya kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi.
Dia pula yang menciptakan benda-benda langit yang terang benderang di angkasa raya dan yang menciptakan manusia seluruhnya, termasuk pemahat patung-patung yang beraneka ragam bentuknya.
Ibrahim a.s. cenderung kepada agama tauhid dan menyatakan bahwa agama agama lainnya adalah batal dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Dia seorang yang berserah diri kepada Allah swt. semata.
Ø  Asbabun nuzul
Firman Allah:
:           “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dan pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. “  (Q.S An Nisa': 125)


Dan firman-Nya::
“Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.”  (Q.S. Luqman: 22)
Ø  ASPEK TARBAWI
-          Hendaknya senantiasa mengingat Allah SWT. yang menciptakan seluruh alam.
-          Selalu berserah diri dan  beribadah kepada Allah SWT.

Surat Al a’raaf ayat 160
                         
وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَسْبَاطًا أُمَمًا وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى إِذِ اسْتَسْقَاهُ قَوْمُهُ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا      نَرَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُو 
            Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya:` Pukullah batu itu dengan tongkatmu! `. Maka memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman):` Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu `. Mereka tidak menganiaya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.

Ø  MUFRODAT

وَقَطَّعْنَاهُمُ       : dan mereka kami bagi
وَأَوْحَيْنَا          : dan kami wahyukan
اضْرِبْ أَنِ      : pukullah
فَانْبَجَسَتْ        : maka memancarlah
وَظَلَّلْنَا           : dan kami naungkan
الْغَمَامَ            : awan

Ø  TAFSIR
Allah membagi kaum Musa, baik yang beriman kepada Allah maupun yang ingkar kepada-Nya menjadi dua belas suku yang dinamakan "Sibt". Pada suatu perjalanan di tengah-tengah padang pasir, kaumnya menderita kehausan, maka Allah mewahyukan kepada Musa agar ia memukulkan tongkatnya ke sebuah batu. Setelah Musa memukulkannya, maka terpancarlah dari batu itu dua belas mata air, sesuai dengan banyaknya suku-suku Bani Israil. Untuk masing-masing suku disediakan satu mata air dan mereka telah mengetahui tempat minum mereka; untuk menjaga ketertiban dan menghindarkan berdesak-desakan.
Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa a.s. untuk membuktikan kerasulannya dan untuk memperlihatkan kekuasaan Allah swt. Kalau dahulu ia memukulkan tongkatnya ke laut sehingga terbentanglah jalan akan dilalui Bani Israil dari pengejaran Fir’aun dan tentaranya, maka pada kejadian ini Musa memukulkan tongkatnya ke batu, sehingga keluarlah air dari batu itu untuk melepaskan haus kaumnya. Kejadian ini di samping merupakan mukjizat bagi Nabi Musa juga menunjukkan besarnya karunia Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada Bani Israil.
Di samping karunia itu Allah swt. menyebutkan lagi karunia yang telah diberikan-Nya kepada Bani Israil, yaitu:
1.      Allah swt. melindungi mereka dengan awan di waktu mereka berjalan di tengah padang pasir dan di waktu panas terik matahari yang membakar itu. Jika tidak ada awan yang melindungi, tentulah mereka terbakar oleh kepanasan matahari. Hal ini terjadi ketika mereka meninggalkan negeri Mesir dan setelah menyeberangi Laut Merah. Mereka sampai di gurun pasir di Semenanjung Sinai dan ditimpa panas yang terik. Karena itu mereka minta agar Musa berdoa kepada Tuhan agar memberikan pertolongan-Nya. Allah menolong mereka dengan mendatangkan awan yang dapat melindungi mereka dari panas terik matahari.
2.      Di samping itu Allah mengaruniakan pula kepala mereka makanan yang disebut "al-manna" semacam makanan yang manis seperti madu yang turun terus-menerus dari langit sejak fajar menyingsing sampai matahari terbit. Di samping itu dianugerahkan Allah pula kepada mereka bahan makanan semacam burung puyuh yang disebut "salwa."
3.      Allah memerintahkan kepada mereka agar memakan makanan yang halal yang baik, berfaedah bagi jasmani dan rohani, akal dan pikiran. Allah swt telah melimpahkan karunia-Nya yang amat besar bagi Bani Israil tetapi mereka tidak mau bersyukur, bahkan mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, ingkar kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya yang berakibat mereka mendapat azab dan siksaan-Nya. Mereka disiksa itu semata-mata karena perbuatan mereka sendiri, bukanlah karena Allah hendak menganiaya mereka. Tersebut dalam sebuah hadis Qudsi:
:                       “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan (mengerjakan) kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan perbuatan zalim itu (sebagai suatu perbuatan) yang diharamkan di antaramu, maka janganlah kamu saling berbuat zalim (di antara sesamamu). Wahai hamba-hamba-Ku, kamu sekali-kali tidak akan dapat menimbulkan kemudaratan kepada-Ku, sehingga Aku memperoleh kemudaratan karenanya, dan kamu sekalian tidak dapat memberi manfaat kepada-Ku sehingga Aku memperoleh manfaat karenanya.”

Ø  ASPEK TARBAWI
-          Hendaknya selalu bersyukur atas rejeki yang diberikan  oleh Allah SWT.
-          Memakan makanan yang baik dan  halal.

Surat Al.mudatsir ayat 27                                                                 
                                                                                        (٢٧) سَقَرُ مَا أَدۡرَٮٰكَ وَمَآ
            Dan apa jalannya engkau dapat mengetahui kedahsyatan neraka Saqar itu?”
Ø  MUFRODAT
  Neraka saqar : سَقَرُ


Ø  TAFSIR
            Dalam ayat ini digambarkan pula betapa sifat neraka Saqar itu. Perkataan "wa ma adra ka" (dan tahukah engkau) dalam bahasa Arab menunjukkan besar dan sangat dahsyatnya masalah yang dipertanyakan. Apakah yang engkau ketahui tentang Saqar? Dan pasti tidak seorang pun mengetahuinya dan mencapai hakikat sebenarnya kecuali dengan keterangan yang diberikan oleh wahyu.
Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak mengembalikan. Artinya setiap tubuh manusia yang dibakarnya tidak satupun yang tersisa dari daging maupun tulang. Dan dikembalikan lagi tubuh yang telah hangus itu menjadi baru dan segar tetapi kemudian dibakarnya lagi sampai hangus untuk kedua kali dan seterusnya.
              Keterangan seperti ini kita peroleh dari ayat lain yang artinya:
           “Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab……” (Q.S. An Nisa': 56).[2]

Ø  ASPEK TARBAWI
-          Segala perbuatan baik ataupun buruk yang kita lakukan akan ada balasannya.
-          Kita harus selalu mengingat bahwa siksa Allah sangatlah pedih.

Surat Al-anbiya’ ayat 34-35
‌ۗ ٱلۡمَوۡتِ ذَآٮِٕقَةُ نَفۡسٍ۬ كُلُّ (٣٤) ٱلۡخَـٰلِدُونَ فَهُمُ مِّتَّ أَفَإِيْن ‌ۖ ٱلۡخُلۡدَ قَبۡلِكَ مِّن لِبَشَرٍ۬ جَعَلۡنَا وَمَا
(٣٥)تُرۡجَعُونَ وَإِلَيۡنَا  ‌ۖ  فِتۡنَةً۬ وَٱلۡخَيۡرِ بِٱلشَّرِّ وَنَبۡلُ
            34. “Dan Kami tidak menjadikan seseorang manusia sebelummu dapat hidup kekal (di dunia ini). Maka kalau engkau meninggal dunia (wahai Muhammad), adakah mereka akan hidup selama-lamanya?
            35. “Tiap-tiap diri akan merasai mati, dan Kami menguji kamu dengan kesusahan dan kesenangan sebagai cubaan; dan kepada Kamilah kamu semua akan dikembalikan.”
Ø  MUFRODAT
Hidup kekal  :ٱلۡخُلۡدَ
Engkau meninggal dunia :مِّتَّ
Setiap jiwa :نَفۡسٍ۬ كُلُّ
 Dan Kami menguji : وَنَبۡلُ
  Cobaan : فِتۡنَةً۬
  Akan dikembalikan :تُرۡجَعُونَ
Ø  TAFSIR
Penjelasan ayat ini adalah bahwa tidak ada yang kekal dikehidupan ini. Orang-orang musyrik bergembira jika musibah kematian menimpa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : “Kita menunggu ajal menimpanya”.[3]
Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang makhluk bernafas di muka bumi ini akan mati, baik Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Nabi dan Rasul sebelumnya. Kegembiraan orang-orang musyrik atas kematian beliau tidak berguna sama sekali, karena mereka pun juga akan mati.
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya): “wahai Muhammad, Kami tidak menjadikan anak cucu Adam hidup abadi di dunia ini sebelum kamu; sehingga Aku mengabadikan kamu; dan kamu akan mati sebagaimana mereka”.[4]

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (al-‘Ankabût: 57)
Setiap orang akan menemui ajalnya. Ini tidak bisa dipungkiri, baik bagi yang pergi berperang maupun yang tidak, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan manusia dari kematian, karena sesungguhnya ajal sudah ditentukan”.[5] Jadi, setiap yang bernyawa di muka bumi ini baik manusia, jin maupun hewan, akan mati dan tidak ada yang dijadikan hidup abadi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Alloh “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan”, yaitu Kami akan menguji kamu kadang-kadang dengan musibah-musibah dan kadang-kadang dengan kenikmatan-kenikmatan, sehingga Alloh akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas: “Kami akan menguji kamu dengan kesusahan dan kemakmuran, kesehatan dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, halal dan harom, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anbiya’ : 35)
Banyak manusia berputus asa dengan kesusahan yang mereka alami, seolah-olah kesusahan itu tidak akan hilang dari mereka. Namun sebaliknya, jika manusia itu mendapatkan berbagai macam kesenangan dan kenikmatan, maka kebanyakan mereka melupakan kepada Penciptanya. Mereka menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan kenikmatan itu, mereka menganggap itu semua karena usahanya dan kepandaiannya. Kemudian kebanyakan mereka berbuat melewati batas.
Imam Ibnu Katsir berkata: “Alloh Ta’ala memberitakan tentang manusia dan sifat-sifat tercela yang ada padanya, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Alloh, yaitu hamba-hambaNya yang beriman. Bahwa manusia itu jika ditimpa oleh kesusahan setelah kenikmatan, dia berputus asa dari kebaikan terhadap masa depan, dan dia mengingkari (kebaikan) yang telah lewat, seolah-olah dia tidak pernah melihat kebaikan, dan setelah itu dia tidak berharap kelonggaran. Demikian juga jika manusia itu mengalami kenikmatan setelah kesusahan, “dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”, yaitu: setelah ini kesusahan dan keburukan tidak akan menimpaku lagi.
FirmanNya: “Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga“, yaitu dia bergembira dan bersombong dengan apa yang ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain”. FirmanNya: “Kecuali orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi kesusahan-kesusahan dan perkara-perkara yang tidak disukai; firmanNya “dan mengerjakan amal-amal saleh“, yaitu pada waktu longgar dan sehat; firmanNya: “mereka itu beroleh ampunan“, yaitu dengan sebab kesusahan yang mereka alami; firmanNya: “dan pahala yang besar“, dengan sebab amalan mereka pada waktu longgar”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Huud: 9-11)[6]
Ø  ASBABUN NUZUL
Ada dua sebab turunnya ayat ini, keduanya dengan shîghah sharîhah (bentuk kalimat yang jelas), akan tetapi sanad keduanya munqati’ (terputus). Pertama diriwayatkan dari Muqathil rahimahullah yang mengatakan:“Sebab turunnya ayat ini adalah ketika sebagian orang berkata bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mati.”[7]
Kedua Ibnul Mundzir rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Juraij rahimahullah yang mengatakan:“Diberitakan kepada  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau akan wafat, kemudian beliau berkata:“ Wahai Rabbku, siapakah yang akan mendidik umatku?” Kemudian turunlah ayat ini.[8]
Ø  ASPEK TARBAWI
-          Harus selalu bersyukur terhadap nikmat dan bersabar terhadap musibah.
-          Beramal sholih pada setiap saat sesuai dengan kemampuan kita.
-          Selalu mengingat bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian.
Surat An-Nisa’ ayat  6                      
  وَلَا  ‌ۖ  أَمۡوَٲلَهُمۡ إِلَيۡہِمۡ فَٱدۡفَعُوٓاْ رُشۡدً۬ا مِّنۡہُمۡ ءَانَسۡتُم فَإِنۡ ٱلنِّكَاحَ بَلَغُواْ إِذَا حَتَّىٰٓ ٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱبۡتَلُواْ
فَلۡيَأۡكُلۡ قِيرً۬افَكَانَ وَمَن ‌ۖ  فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ اغَنِيًّ۬كَانَ وَمَن ‌ۚ يَكۡبَرُواْ أَن وَبِدَارًا إِسۡرَافً۬ا تَأۡكُلُوهَآ
(٦) حَسِيبً۬ا بِٱللَّهِ وَكَفَىٰ  عَلَيۡہِمۡ فَأَشۡہِدُواْ أَمۡوَٲلَهُمۡ إِلَيۡہِمۡ دَفَعۡتُمۡ فَإِذَا ‌ۚ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
                  “Dan ujilah anak-anak yatim itu (sebelum baligh) sehingga mereka cukup umur (dewasa). Kemudian jika kamu nampak dari keadaan mereka (tanda-tanda yang menunjukkan bahawa mereka) telah cerdik dan berkebolehan menjaga hartanya, maka serahkanlah kepada mereka hartanya; dan janganlah kamu makan harta anak-anak yatim itu secara yang melampaui batas dan secara terburu-buru (merebut peluang) sebelum mereka dewasa. Dan sesiapa (di antara penjaga harta anak-anak yatim itu) yang kaya maka hendaklah ia menahan diri (dari memakannya); dan sesiapa yang miskin maka bolehlah ia memakannya dengan cara yang sepatutnya. Kemudian apabila kamu menyerahkan kepada mereka hartanya, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (yang menyaksikan penerimaan) mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (akan segala yang kamu lakukan).”
Ø  MUFRODAT
Dan ujilah :وَٱبۡتَلُواْ
Cukup umur :بَلَغُواْ
Maka serahkanlah :فَٱدۡفَعُوٓاْ
Harta mereka : أَمۡوَٲلَهُمۡ
Dan janganlah kamu makan :تَأۡكُلُوهَآ وَلَا

Ø  TAFSIR 
رُشۡدً۬ا مِّنۡہُمۡ ءَانَسۡتُم : kalian melihat ke dalam diri mereka sudah mulai bisa mentasarrufkan harta.
Al-israf : melebihi batas dalam membelanjakan harta
Al-bidar : bersegera dan cepat-cepat kepada sesuatu. Dikatakan Badartu ila syai’in badartu ilaihi, artinya aku bersegera kepadanya.
Fal yasta’fif : hendaknya ia menjaga kehormatannya.
Al-‘iqqah : adalah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak layak dilakukan.
Al-hasib : yang mengawasi
            Dijelaskan bahwa harta benda mereka (anak-anak yatim) tidak boleh diserahkan kepada mereka kecuali jika para walinya telah melihat tanda-tanda kedewasaan dalam diri mereka. Sesungguhnya tidak layak bagi seorang wali memakan harta anak yatim (apabila ia miskin) dengan cara berlebih-lebihan, dan barang siapa di antara wali itu kaya, maka hendaklah ia menjaga diri jangan sampai memakan harta mereka. Barang siapa menjadi wali tetapi miskin, hendaknya ia memakannya dengan ketentuan hokum syara’ dan dipandang pantas oleh orag-orang bijaksana.[9]
            Seluruh umat islam telah berpendapat bahwa harta anak yatim bukan harta milik pengasuhnya. Wali sedikitpun tidak berhak memakannya. Tetapi ia dibolehkan mengambil darinya sebagai hutang ketika dalam keadaan terdesak, sebagaimana anak yatim itu berhutang kepadanya. Kemudian ia pun dipebolehkan mengupah dirinya dari harta anak yatim dengan upah yang telah ditentukan, apabila anak yatim itu memerlukan pekerjaan tersebut, seperti halnya anak yatim itu mengupah orang lain untuk melakukannya. Upah tersebut boleh ditentukan oleh sang wali, jika memang harta anak yatim itu berjumlah banyak, tetapi tidak boleh ditentukan apabila tidak banyak (miskin). Demikian pula, ketentuan-ketentuan itu berlaku bagi harta orang-orang gila dan setengah gila.
            Telah diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Umar ra. Bahwa ada laki” bertanya kepada Nabi saw. “aku tidak mempunyai harta, tetapi aku adalah seorang wali dari anak yatim.” Kemudian Nabi saw. bersabda: “makanlah oleh kamu sebagian harta anak yatimmu tanpa berlebih-lebihan dan (juga) tanpa menghambur-hamburkannya dan (juga) tanpa mengindahkan hartamu dengan hartanya.”[10]
Ø  ASPEK TARBAWI
-          Hendaknya menguji anak-anak yatim, hingga mereka mencapai dewasa dan mampu memelihara harta.
-          Bahwasannya kita dilarang memakan harta orang lain (dalam ayat ini yang dimaksud adalah harta anak yatim).
-          Menahan diri dari sifat israf berlebih-lebihan.

Ø  KESIMPULAN
            Pada prinsipnya Allah SWT. Sebagaimana yang telah anda ketahui meliputi harta anak yatim, dengan berbagai cara pengamanan dan pemeliharaan. Untuk itu Dia memerintahkan sang wali agar terlebih dahulu menguji kemampuan penggunaan harta anak yatim, sebelum hartanya diserahkan kepadanya. Kemudian Allah melarang sang wali memakan sesuatu dari harta anak yatim dengan cara berlebih-lebihan dan mumpung anak yatim masih kecil. Allah juga memerintahkan sang wali agar mengadakan saksi ketika serah terima, dan memerintahkan di akhir ayat sang wali agar mengingat akan pengawasan Allah terhadap  segala gerak-gerik yang bersifat pribadi.[11]

Surat QS An-nur ayat 27
  خَيْرٌ ذَٰلِكُمْ ۚ أَهْلِهَا عَلَىٰ وَتُسَلِّمُوا تَسْتَأْنِسُوا حَتَّىٰ بُيُوتِكُمْ غَيْرَ وتًابُيُتَدْخُلُوا لَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
تَذَكَّرُونَ لَعَلَّكُمْ لَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk ke dalam rumah-rumah yang bukan rumahmu, sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Itulah yang lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat”.
Ø  MUFRODAT
  بُيُوتِكُمْ             : rumah kamu
ءَامَنُوا۟              : beriman                                                        
تَدْخُلُوا۟              : kamu masuk                                                                         
عَلَىٰٓ                 : Atas/ kepada
خَيْرٌ                  : Lebih baik
بُيُوتًا                 : Rumah-rumah

  تَذَكَّرُونَ          : Kamu Ingat
Ø  TAFSIR
Dalam ayat 27 diterangkan bahwa orang-orang Mu'min dilarang memasuki pekarangan rumah orang kalau yang empunya tidak izin. Rumah adalah tempat menyimpan rahasia kerumah tanggaan. Sebab setiap mempunyai dua wajah hidup, hidup kemasyarakatan dan hidup urusan peribadi. Orang keluar dari dalam rumahnya dengan pakaian yang pantas, orang pergi ke Jum'at dengan perhiasan yang patut, meskipun keadaannya dalam rumah tangganya adalah serba kurang.
Dalam rumah tangganya orang dapat memakai kaos singlet yang robek dan sarung yang telah bertambal-tambal. Orang luar tidak boleh tahu itu. Keluar kelihatan orang gagah, dan kalau menjamu orang lain makan ke dalam rumahnya akan disediakannya makanan yang agak istimewa daripada makanannya sehari-hari. Tetapi dalam waktu yang tidak dicampuri orang lain, mungkin mereka hanya makan sekali sehari dengan laukpauk yang serba kurang.
Orang luar tidak boleh mengetahui itu. Kadang-kadang terjadi perselisihan suami dan isteri dalam perkara yang kecil-kecil, entah karena kekurangan belanja, entah karena kenakalan anak. Orang luar tidak perlu tahu akan hal itu. Urusan rumah tangga adalah urusan tersendiri dalam rumahtangga itu tersendiri, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu menurut peraturan agama Islam yang dijelaskan dalam ayat ini, sekali-kali tidak boleh seorang yang merasa dirinya beriman kepada Tuhan dan taat kepada Rasul, masuk saja ke dalam rumah orang, siapa pun orangnya, kalau tidak dengan izinnya.
Tidak perduli apakah rumah itu istana presiden yang lengkap penjaga dan pengawalnya, ataupun gubuk buruk beratapkan rumbia di lorong yang sempit penuh lumpur. Namun kedaulatan penghuni rumah itu atas rumahnya tetaplah sama.
Bagaimana seseorang yang pulang dari kerja keras mengurus penghidupan, menanggalkan pakaian yang lekat di tubuh, tinggal baju kaos dan celana katok (celana dalam) tiba-tiba dalam keadaannya demikian itu datang' saja orang lain tanpa salam dan tanpa memberitahu? Dan masuk saja tanpa izin? Bagaimana perasaan seorang perempuan terhormat, sedang dia hanya berkutang sehelai dan berkain sesampul gantung, merasa aman karena hanya dengan suaminya dan anak-anaknya, tiba-tiba muncul saja orang lain dari pintu, padahal hubungan dengan orang lain itu selama ini adalah dalam batas kesopanan?
Di dalam hal ini diterangkan benar, jangan masuk ke dalam sebuah rumah sebelum tasta'nisun, artinya diketahui benar terlebih dahulu bahwa yang empunya rumah sedang senang, sedang gembira menerima tamu. Wa tusallimu, artinya dengan disertai ucapan salam kepada sahibul bait yang empunya rumah. Maka kedua syarat ini tidak boleh terpisah, kesukaan yang empunya rumah dan ucapan salam. Sekali-sekali jangan menerobos saja masuk sambil mengucapkan salam, padahal yang empunya rumah belum menyatakan suka menerima kita, jangan pula masuk saja sebelum mengucapkan salam.[12]
Ø  ASPEK TARBAWI
Hendaknya mengundang orang-orang yang bertaqwa, bukan orang yang fasiq. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu bersahabat kecuali dengan seorang mu`min, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
·      Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang fakir. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersbda: “Seburuk-buruk makanan adalah makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya orang-orang kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).
·      Undangan jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi niat untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan membahagiakan teman-teman sahabat.
·      Tidak memaksa-maksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu anhu ia menuturkan: “Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR. Al-Bukhari)
·      Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan.
·      Jangan kamu menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan dengan kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.
·      Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya.
·      Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hida-ngan) sebelum tamu selesai menikmati jamuan.
·      Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian.

QS Ar-ruum ayat 30
   الدِّينُ لِكَ ذَٰ اللَّهِ ۚلِخَلْقِ تَبْدِيلَ لَا ۚ عَلَيْهَاالنَّاسَ فَطَرَ الَّتِي اللَّهِ فِطْرَتَ حَنِيفًا لِلدِّينِ وَجْهَكَ فَأَقِمْ
يَعْلَمُونَ لَا النَّاسِ أَكْثَرَ وَلَٰكِنَّ الْقَيِّمُ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ø  MUFRODAT
النَّاسَ               : Manusia
وَجْهَكَ              : Wajahmu                                                       تَبْدِيلَ               : Perubahan
لِلدِّينِ                : Wajahmu                                                       أَكْثَرَ                 : Kebanyakan
حَنِيفًا               : Dengan lurus                                                 يَعْلَمُونَ             : Mengetahui.
فِطْرَتَ             : Fitrah
Ø  TAFSIR
            Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah “al-dinu al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.
            Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah:
1.      Beriman kepada  Allah  SWT.
2.      Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan  pengajaran.
3.      Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir.
4.      Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
5.      Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.[13]
            Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:
1.      Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
2.      Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.
            Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
            Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara kaamilah. Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.
            Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik.
            Dalam hadis lain disebutkan:
عَنْ اَ نَسْ بِنْ مَلِكْ عن رَسُوْ الله صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم , قَلَ أَ كْرَ مُوْ أَ وْ لاَدَ كُمْ وَأ حْسَنُوْ أدْ بَهُمْ
“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)
          Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (akhlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan seorang anak.
            Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orang tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat dan bakat.
            Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
            Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazâiri, Abû bakar Jâbir. 2003. Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. Madinah.
At-Thabary, Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far. 2000. Tafsir at-Thabari. Lebanon: Muassasah Risâlah.
Salim Bahreisy & Said Bahreisy.1990. Terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Al-Jauzî, Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad. 1404 H. Zadul Masir. Beirut: al-Maktab Al-Islami
As-Suyuthi, Abdur-Rahmân bin Abi Bakr bin Muhammad. Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl. Beirut: Dâr Ihyâ’ul-ulûm.
Al-Maragi, Ahmad Mustofa. 1993. Tafsir Al-Maragi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dkk. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Departemen RI, Al-Qur’an Bayan. 2009. Penerbit: Al-Qur’an Terkemuka.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar. 1983. Jakarta: PT. Panji Mas.
Http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir. Diakses, 6 april 2013.




[1] http://za-enal.blogspot.com/2012/03/potensi-diri-dan-macam-macamnya.html
[3] Abû bakar Jâbir al-Jazâiri, Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. (Madinah: 2003), hlm. 412
[4] Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far at-Thabary, Tafsir at-Thabari. (Lebanon: Muassasah Risâlah, 2000 ), hlm. 439
[5] Salim Bahreisy & Said Bahreisy. Terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990), hlm. 360
[7] Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad Al-Jauzî, Zadul Masir, (Beirut: al-Maktab Al-Islami, 1404 H), hlm. 350
[8] Abdur-Rahmân bin Abi Bakr bin Muhammad As-Suyuthi, Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl, (Beirut: Dâr Ihyâ’ul-ulûm), hlm. 146
[9]Ahmad Mustofa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dkk. (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm. 331-334
[10] Ibid, hlm. 340
[11] Ibid, hlm. 341
[12] HAMKA, Tafsir  al-Azhar, (Jakarta:PT. Panji Mas, 1983), hlm.
[13] Departemen RI, Al-Qur’an Bayan (Penerbit: Al-Qur’an Terkemuka, 2009), hlm.
[14] http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir. Diakses, 6 april 2013.