Sabtu, 16 Maret 2013

Thalaq (perceraian)

Thalaq ialah melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan lafadh yang tertentu, misalnya suami berkata terhadap istrinya: “Engkau telah ku thalaq”, dengan ucapan ini ikatan nikah menjadi lepas, artinya suami istri jadi bercerai.
Thalaq ialah perbuatan yang halal, namun dibenci oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi saw :
“Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw, telah bersabda: “Di antara hal-hal yang halal namun dibenci oleh Allah ialah thalaq”. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim dan Abu Hatim menguatkan mursalnya).
a.      Rukun thalaq
Rukun thalaq ada tiga, yaitu:
1.      Suami yang menthalaq; dengan syarat baligh, berakal dan kehendak sendiri.
2.      Istri yang dithalaq.
3.      Ucapan yang digunakan untuk menthalaq.

b.      Ucapan thalaq
Ucapan untuk menthalaq istri ada 2:
1.      Ucapan sharih yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk menthalaq. Thalaq itu jatuh jika seseorang telah mengucapkan dengan sengaja walaupun hatinya tidak berniat untuk menthalaq istrinya.
Ucapan sharih ada 3:
·         Thalaq artinya mencerai.
·         Pirak (firak) artinya memisahkan diri.
·         Sarah artinya lepas.
2.      Ucapan yang kinayah yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya, mungkin thalaq itu maksudnya thalaq lain. Ucapan thalaq kinayah memerlukan adanya niat, artinya jika ucapan thalaq itu dengan niat, sah thalaqnya dan jika tidak disertai niat maka thalaqnya belum jatuh.
Ucapan kinayah antara lain misalnya:
·         Pulanglah engkau pada ibu bapakmu.
·         Kawinlah engkau dengan orang lain.
·         Saya sudah tidak hajat lagi kepadamu.
Sabda Rasulullah saw.:
“Dari Abi Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Ada tiga perkara, yang bila disungguhkan jadi dan bila main-main pun tetap jadi, yaitu nikah, thalaq dan ruju’”. (H.R. Imam yang empat, kecuali Nasa’I dan dishahkan oleh Hakim)
c.       Cerai dengan surat
Thalaq dengan surat yang ditulis suami sendiri dan dibaca, hukumnya sama dengan lisan, tetapi jika surat itu tidak dibaca sebelum dikirim kepada istrinya, maka sama dengan kinayah.

d.      Cerai dengan dipaksa
Cerai dengan dipaksa oleh orang lain tanpa kemauannya sendiri, hukumnya sama dengan kinayah, yaitu kalau memang hatinya membenarkan, maka jatuhlah thalaq itu dan kalau tidak, maka thalaq itu belum dianggap jatuh.

e.      Ta’liq thalaq
Menta’liqkkan thalaq ialah menggantungkan thalaq dengan sesuatu, misalnya suami berkata: “Engkau terthalaq apabila engkau pergi dari rumah ini tanpa ijin saya” atau ucapan semacam itu.
Jika si istri meninggalkan rumah tanpa ijin suami maka jatuhlah thalaqnya.

f.        Bilangan thalaq
Seorang yang merdeka berhak menthalaq istrinya dari satu sampai tiga kali thalaq. Thalaq satu atau dua boleh ruju’ (kembali) sebelum habis ‘iddahnya dan boleh kawin kembali sesudah ‘iddahnya.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Thalaq yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh ruju’ lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah: 229)

g.      Pendapat tentang thalaq tiga
Thalaq tiga meliputi beberapa cara:
1.      Menthalaq istrinya tiga kali pada masa berlainan, misalnya suami menthalaq istrinya thalaq satu, pada masa ‘iddahnya dithalaq  lagi satu, pada masa ‘iddah kedua dithalaq lagi thalaq satu.
2.      Suami menthalaq istri dengan thalaq satu, kemudian setelah ‘iddah dinikah kembali dengan nikah baru, lalu dithalaq, setelah ‘iddahnya habis dinikah kembali lalu dithalaq lagi yang ketiga kalinya.
3.      Ucapan thalaq dari suami yang dijatuhkan sekaligus, dengan ucapannya: “Saya thalaq engkau thalaq tiga”. Dengan semacam ini mengakibatkan jatuhnya thalaq tiga.[1]
h.      Macam-macam thalaq
Perceraian itu ada dua macam, yaitu cerai mati dan cerai hidup.
Cerai hidup ada beberapa macam:
1.      Thalaq, diatur dalam QS. Al-Baqarah: 229 dan yang terkait.
2.      Khulu’, diatur dalam QS. Al-Baqarah: 229.
3.      Sumpah Ila’ diatur dalam QS. Al-Baqarah: 226.
4.      Syiqaq diatur dalam QS. An-Nisa’: 35.
5.      Sumpah Li’an diatur dalam QS. An-Nur: 6-7
6.      Zhihar diatur dalam QS. Al-Mujadalah: 1-2
7.      Fasakh, yaitu suatu perceraian yang dibatalkan oleh Pengadilan Agama, disebabkan karena yang bersangkutan tidak memenuhi atau bertentangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Syari’at Islam.
Sebab-sebab fasakh:
·         Karena ada cacat.
·         Karena tidak mendapat nafkah.
·         Karena tidak memenuhi janji.

i.        Thalaq ditinjau dari sunnah dan bid’ah
1.      Thalaq sunni ialah thalaq yang mengikuti sunnah Nabi saw. yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri ketika istri sedang suci yang belu tercampuri.
2.       Thalaq bid’I ialah thalaq yang djatuhkan kepada istri ketika sedang haid atau ketika istri sedang suci yang sudah dicampuri.

j.        Thalaq ditinjau dari segi kemungkinan bisa rujuk tidaknya
1.      Thalaq raj’I ialah thalaq yang bisa dirujuk lagi tanpa akad nikah baru, yakni rujuknya ketika istri masih dalam ‘iddahnya belum habis.
Thalaq ba’in sughro ada 3 macam, yaitu:
·         Thalaq atas istri yang belum pernah dicampuri sebelum cerai.
·         Thalaq dengan tebusan atau khulu’.
·         Thalaq yang dijatuhkan atas putusan Hakim.
2.      Thalaq ba’in ialah suatu thalaq yang tidak bisa dirujuk kecuali dengan akad nikah baru.
Thalaq ba’in kubra dibagi dua, yaitu:
·         Thalaq yang disebabkan karena terjadinya sumpah Li’an. Mereka terlibat sumpah Li’an ini haram melakukan rujuk untuk selama-lamanya.
·         Thalaq yang ketiga. Mereka yang terlibat thalaq tiga ini haram untuk rujuk lagi selama-lamanya kecuali dengan syarat. Syaratnya ialah bahwa istri yang dithalaq tiga ini sudah kawin lagi dengan laki-laki lain dan sudah dicerai serta sudah habis ‘iddahnya. Dengan catatan bahwa perkawinannya dengan laki-laki baru tersebut merupakan perkawinan yang wajar tidak ada rekayasa dibuat-buat. Jika terbukti ada rekayasa maka hukumnya tetap haram.[2]


[1] Drs. H. Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: CV. Toha Putra (tanpa tahun), hlm. 483-488.
[2] Imam Muchlas, Al-Qur’an Berbicara tentang Hukum Perkawinan, Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2006, hlm.172-173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar