Sabtu, 16 Maret 2013

korupsi di Indonesia: Tinjauan Normative theory

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu amanat dan sekaligus tuntutan yang kerap dikumandangkan sejak awal masa reformasi. Hal ini dinilai sebagai sesuatu yang urgen karena korupsi telah membawa dampak yang begitu buruk bagi kehidupan bangsa secara nyata. Karena itu wajar jika pemerintahan masa transisi pasca Orde Baru telah mengagendakan upaya yang cukup serius untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat yang begitu berambisi mengenyahkan praktik korupsi di negeri ini. Hal ini paling tidak dapat disimak dari aspek legal-formal dengan dikeluarkannya sejumlah peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pemberantasan korupsi sebagaimana tampak pada table berikut.
Tabel: Produk Hukum Mengenai Korupsi Pasca-Orde Baru
No
Peraturan
Substansi
1
Tap MPR No.XI/ MPR/1998
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
2
Inpres No.30/1998
Instruksi Presiden kepada Jaksa Agung untuk segera memeriksa mantan Presiden Soeharto.
3
UU No.28/1999
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
4
UU No.31/1999
Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi.
5
PP No.65/1999
Tatacara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.
6
PP No. 66/1999
Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa.
7
PP No.67/1999
Tatacara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa.
8
PP No.68/1999
Tatacara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.
9
PP No.71/2000
Tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi.
10
UU No.20/2001
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti UU No.31/1999.
11
UU No.30/2002
Tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
12
UU No.25/2003
Tentang Perubahan UU No15/2002 Tentang Tindak Pidana Anti Pencucian Uang.
13
Inpres No.5/2004
Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
14
Kepres No11/2005
Pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Diadaptasi dari berbagai sumber
Selama masa pemerintahan BJ. Habibie, misalnya, tak kurang dari delapan produk hukum yang dirancang untuk menjaring para koruptor, meskipun ternyata tak satu pun yang efektif menuai hasil. Demikian pula pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati, peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi terus diproduksi. Namun tidak juga menurunkan nyali dan “birahi” para koruptor untuk melakukan korupsi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tidak mau ketinggalan. Pada awal masa pemerintahannya, SBY juga meluncurkan Inpres dan Keppres mengenai upaya pemberantasan korupsi, bahkan disertai amanat-amanat ‘moralis’ yang secara langsung mengajak para petinggi di negeri ini untuk bersikap jujur sekaligus menjauhkan diri dari sikap koruptif yang tak terpuji itu.
Rezim pemerintahan memang terus berganti. Seiring dengan itu, sejumlah peraturan pun terus diperbarui. Namun demikian, mentalitas korupsi hingga kini belum juga terkalahkan. Apa sejatinya korupsi itu? Apa pula akar masalah dan dampaknya bagi kehidupan berbangsa? Strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan ini? Adakah solusi alternatif yang efektif untuk memberantas korupsi? Memang banyak cara dan strategi yang ditempuh, namun tulisan ini lebih fokus pada perspektif normatif, dengan pendekatan moral sebagai titik sentralnya.
13028330951407241163
Definisi dan Redefinisi Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio yang berarti busuk atau rusak. Dalam padanan kata kerjanya, korupsi atau corrumpere juga dapat berarti menggoyahkan, memutar-balik, atau menyogok. Karena itu, Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal berusaha memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari perspektif ini, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi mencakup beberapa unsur, yaitu: a) melanggar hukum yang berlaku, b) penyalahgunaan wewenang, c) merugikan negara, d) memperkaya pribadi/diri sendiri.[1]
Sementara itu, sosiolog Syed Hussein Alatas mendefinisikan korupsi sebagai penyalah-gunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Esensinya adalah bahwa korupsi merupakan pencurian yang dilakukan melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Adapun Mark Phillip memberikan tiga definisi berdasarkan orientasinya, yaitu public office-centered, public interest-centered, dan market-centered. Definisi public office-centered memandang korupsi sebagai tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi. Definisi public interest-centered melihat korupsi sebagai perilaku yang merugikan kesejahteraan publik. Sedangkan definisi market-centered berdasar pada penggunaan metode ekonomi dalam analisis politik, dimana korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pegawai negeri untuk memperoleh pendapatan ekstra dari publik.
Secara legal-formal, UU No. 20/2001 Jo. UU No. 31/1999 mendefinisikan korupsi sebagai suatu tindakan yang melawan/melanggar hukum dengan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/ kedudukannya (abuse of power) untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan/perekonomian negara.[2]
Sejalan dengan itu, Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa sebagai konsep korupsi sebenarnya mempunyai makna generik yang sama dengan kolusi dan nepotisme (KKN). Ketiga konsep itu bermuara kepada pemahaman yang sama, yaitu menyangkut praktik penyalahgunaan kekuasaan (power) dan wewenang (authority), baik yang dilakukan oleh seseorang, atau sekelompok orang, untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau lembaga lainnya, sehingga merugikan kepentingan masyarakat luas atau publik. Oleh karena itu konsep kolusi dan nepoteisme juga berarti korupsi, karena dibalik praktik kolusi dan nepotisme berlangsung penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk menguntungkan diri dan kalangan sendiri, dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.[3]
JM. Wammey menyebutkan bahwa tidak semua korupsi mewujud dalam bentuk penyuapan (bribe) berupa uang. Sebagai contoh seseorang yang memiliki posisi yang berhadapan dengan kepentingan publik menggunakan waktu pelayanannya untuk kebutuhan pribadi, seorang pemimpin yang menggunakan aparat instansi atau kantor untuk digunakan atau dimanfaatkan secara pribadi. Dalam beberapa kasus terdapat kerancuan istilah antara penyuapan (bribe) dengan hadiah (gift). Dalam beberapa hal, kedua istilah tersebut dapat dibedakan dari sisi, penyuapan bersifat reciprocity sedangkan hadiah tidak. Sekalipun secara fundamental dapat dibedakan, namun kadang-kadang masih tetap menemui kesulitan untuk membedakannya. Sehingga muncul beberapa pertanyaan, apakah dengan demikian sebuah hadiah dapat berubah menjadi penyuapan? Apakah mengukur besarnya hadiah bisa dijadikan pembatas antara korupsi dan hadiah? Ataukah dapat dibedakan dari sisi cara pemberian yang terang-terangan atau yang bersifat tertutup? Mitos bahwa korupsi merupakan intrinsic nature sehingga tidak mungkin diukur, menyebabkan persoalan korupsi menjadi semakin rumit karena tipologinya juga kian beragam.[4]
Identifikasi Korupsi: Akar Masalah dan Dampaknya
Survey diagnostik atas tindak pidana korupsi yang dilakukan Partnership for Goverment Reform menyebutkan empat alasan utama yang menjadi penyebab terjadinya praktik korupsi. Keempat hal itu adalah rendahnya gaji (36%), kurangnya pengawasan (19%), buruknya moral (16%), dan lemahnya penegakan hukum (7%).[5] Mengenai rendahnya gaji pegawai, Herbert Feith pernah melukiskan bahwa Dr. A. Halim, Perdana Menteri Republik Indonesia pada tahun 1950 menulis surat terbuka kepada Presiden Sukarno, dan menyatakan dengan tegas bahwa gaji pegawai yang hanya cukup membiayai hidup untuk dua minggu atau paling lama 20 hari, telah menyebabkan mereka rela menjual harga dirinya dan melibatkan diri dalam korupsi kecil-kecilan (minor corruption).[6] Korupsi kecil-kecilan yang dibiasakan dan dibiarkan ini kemudian berkembang-biak dan lambat-laun menjadi jombi yang kian membudaya di negeri ini.
Namun begitu, di mata antropolog Sjafri Sairin, membiaknya praktik korupsi lebih berkait erat dengan faktor mentalitas. Meskipun rendahnya gaji dapat dipahami sebagai salah satu alasan, namun menurutnya, praktik korupsi tidak berhubungan secara langsung dengan tinggi atau rendahnya tingkat penghasilan. Mereka yang terjerumus pada praktik korupsi adalah mereka yang memiliki mentalitas yang “selalu merasa kekurangan” (unsatiable mentality). Mereka sepertinya tidak pernah merasa puas dengan penghasilan yang telah diperoleh, walaupun menurut ukuran umum, sebenarnya penghasilan itu sudah cukup untuk menopang kehidupan mereka secara wajar. Keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak tidak pernah terpuaskan sehingga terkesan serakah. Untuk memuaskan “rasa kurang” itu mereka berusaha menempuh berbagai jalan, baik yang dilakukan sesuai dengan peraturan, nilai moral dan etika, maupun yang berlawanan dengan itu.[7] Inilah sikap yang disebut sosiolog Kuntjaraningrat sebagai “mentalitas menerabas”.
Sementara itu, budayawan Mudji Sutrisno menilai bahwa akar masalah munculnya praktik korupsi adalah akibat demoralisasi. Menurutnya, manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan dan niat untuk melakukan korupsi. Namun, bila moralitasnya bagus, ia tidak akan pernah melakukannya. Masalahnya sekarang adalah niat untuk korupsi ada, sementara sistem dan budaya serta lingkungan juga mendukung terciptanya praktik korupsi. Ia menambahkan bahwa munculnya demoralisasi pada tingkatan niat ini ditandai dua hal. Pertama, adanya hak milik kolektif. Bila seseorang menjadi penguasa atau pejabat publik atau bahkan menjadi diri sendiri sekalipun, dia lantas akan merasa memiliki semua. Apa yang seharusnya dikelolanya dengan tanggung jawab yang tinggi justru dijadikan hak milik baginya. Akibatnya, mereka tidak merasa harus bertanggung jawab secara moral terhadap apa yang dimilikinya tersebut. Kedua, moralitas yang tertanam dalam diri individu mengalami krisis. Ini ditandai dengan tidak adanya kesadaran dalam individu, apakah ia melakukan perbuatan baik atau tidak. Dengan kata lain, sense of goodder and sense of badder tidak tumbuh dalam diri individu sehingga ia tidak mengenali lagi apakah yang dilakukannya baik atau tidak. Akibatnya, tidak ada konsep moral dalam pekerjaannya. Hal inilah yang akhirnya merangsang munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme di semua lini kehidupan.[8]
Solusi Korupsi Berbasis ”Normatif-Moralis”
Dengan beragam argumen yang dikemukakan, pendekatan normatif terhadap gejala korupsi memang cenderung menitikberatkan pada persoalan moralitas sebagai pangkal kausalnya. Karena itu pula upaya antisipasi dan beragam strategi yang ditempuhnya pun memposisikan pendekatan nilai moral sebagai basis utamanya. Pendekatan “normatif-moralis” ini telah lama diperlihatkan dan ditempuh. Salah satu contoh, misalnya, pada masa Orde Baru dengan paradigma “WASKAT”. Konsep Waskat sering disebut sebagai pengawasan melekat atau “pengawasan malaikat”. Artinya, agar para pejabat terhindar dari sikap koruptif maka ia harus punya standar moral, nilai atau etika tertentu sehingga ia merasa diawasi moral dan perilakunya. Pendekatan ini tentu sangat populer karena secara langsung dikampanyekan oleh Soeharto sebagai pemegang tapuk kekuasaan pada saat itu, meskipun efektifitas program “WASKAT” ini kemudian tidak memperlihatkan hasil yang memadai.
Masih dalam konteks pendekatan normatif, John ST Quah, peneliti kebijakan publik dan korupsi dari National University of Singapore (NUS), mengatakan bahwa kunci sukses penanganan korupsi terletak pada dua unsur penting. Pertama, komitmen yang kuat dari presiden atau petinggi negara. Kedua, tersedianya instrumen dan aturan perundang-undangan yang baik. Menurut Quah, strategi paling efektif untuk menanggulangi korupsi adalah mengombinasikan komitmen pemimpin politik yang kuat dengan perangkat instrumen yang memadai.[9]
Quah juga menambahkan bahwa strategi penanggulangan korupsi harus diiringi dengan upaya untuk meminimalisasi sebab-sebab munculnya tindak pidana korupsi. Karena korupsi antara lain disebabkan oleh adanya insentif dan kesempatan untuk melakukan tindakan korup, maka strategi komprehensif untuk menanggulangi korupsi di sebuah negara harus mengikuti “the logic of corruption control”. Artinya, logika pengendalian korupsi harus didesain untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan insentif dan kesempatan yang menjadikan korupsi menjadi sebuah godaan tak tertahankan.[10] Namun demikian, parameternya tentu berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Namun sayangnya, di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, parameter nilai moral masih menjadi indikator dominan.
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) melalui milinglist-nya pernah mengakomodasi beragam ide dengan melakukan inventarisasi “Kumpulan Tulisan Mengenai Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”.[11] Sebagai sebuah ruang terbuka, masukan dan tawaran yang mengemuka dalam milis itu tentu sangat beragam. Mulai dari usulan ‘sepele’ yang bersifat guyon hingga tawaran strategi yang didasarkan atas hasil riset yang serius dan mendalam. Dari sekian banyak tawaran solusi yang mengemuka, pendekatan “normatif-moralis” ternyata memang masih banyak diandalkan. Sebagai sebuah perspektif, pendekatan ini memang dapat dijadikan salah satu rujukan. Namun tentu harus diakui bahwa strategi dan pendekatan ini belum cukup memadai tanpa dibarengi strategi, pendekatan, serta upaya-upaya lain yang justru lebih urgen dan substantif./end
13028335561207895327
***

[1] Lebih detil dapat disimak dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
[2] Lebih rinci dapat disimak dalam UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta penjelasannya.
[3] Raharjo, M. Dawam (1999), “Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme (KKN): Kajian Konseptual dan Kultural”, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed), Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta.
[4] Wammey, J.M. (1999), “Can Corruption be Measured? Bank Offers Diagnostic Tools to Measure and Combat Corruption in Member Countries.” Bank’s World, Vol.3 No.6, Website: http://www.ext/worldbank.org/bw7.
[5] Simak: Ratih Hardjono dan Stefanie Teggemann, ed. (TT). Kaum Miskin Bersuara: 17 Cerita Tentang Korupsi, Partnership for Goverment Reform in Indonesia, Jakarta.
[6] Feith, Herbert (1962), The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca.
[7] Sairin, Sjafri, “Efektivitas Gerakan Kultural dalam Pemberantasan Korupsi Nasional,” makalah Seminar Nasional Gerakan Kultural Ant- Korupsi dan Pemilihan Ekonomi dalam Rangka Sosialisasi Etika Kehidupan Berbangsa, Kedeputian Bidang Sejarah dan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Pengurus Pusat Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama, Jakarta: 21 Juli 2004.
[8] Kompas, “Demoralisasi Niat Memicu Maraknya Korupsi”, 6 Februari 2003.
[9] Quah, John ST (1999), “Corruption in Asian Countris: Can It Be Minimized?”, Public Administration Review, Vol.59, No.6.
[10] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar