Pemberantasan
korupsi merupakan salah satu amanat dan sekaligus tuntutan yang kerap
dikumandangkan sejak awal masa reformasi. Hal ini dinilai sebagai
sesuatu yang urgen karena korupsi telah membawa dampak yang begitu buruk
bagi kehidupan bangsa secara nyata. Karena itu wajar jika pemerintahan
masa transisi pasca Orde Baru telah mengagendakan upaya yang cukup
serius untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat yang begitu berambisi
mengenyahkan praktik korupsi di negeri ini. Hal ini paling tidak dapat
disimak dari aspek legal-formal dengan dikeluarkannya sejumlah peraturan
perundang-undangan berkaitan dengan pemberantasan korupsi sebagaimana
tampak pada table berikut.
Tabel: Produk Hukum Mengenai Korupsi Pasca-Orde Baru
No
|
Peraturan
|
Substansi
|
1
|
Tap MPR No.XI/ MPR/1998
|
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
|
2
|
Inpres No.30/1998
|
Instruksi Presiden kepada Jaksa Agung untuk segera memeriksa mantan Presiden Soeharto.
|
3
|
UU No.28/1999
|
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
|
4
|
UU No.31/1999
|
Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi.
|
5
|
PP No.65/1999
|
Tatacara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.
|
6
|
PP No. 66/1999
|
Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa.
|
7
|
PP No.67/1999
|
Tatacara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa.
|
8
|
PP No.68/1999
|
Tatacara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.
|
9
|
PP No.71/2000
|
Tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi.
|
10
|
UU No.20/2001
|
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti UU No.31/1999.
|
11
|
UU No.30/2002
|
Tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
|
12
|
UU No.25/2003
|
Tentang Perubahan UU No15/2002 Tentang Tindak Pidana Anti Pencucian Uang.
|
13
|
Inpres No.5/2004
|
Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
|
14
|
Kepres No11/2005
|
Pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
|
Diadaptasi dari berbagai sumber
Selama
masa pemerintahan BJ. Habibie, misalnya, tak kurang dari delapan produk
hukum yang dirancang untuk menjaring para koruptor, meskipun ternyata
tak satu pun yang efektif menuai hasil. Demikian pula pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati, peraturan
perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi terus diproduksi.
Namun tidak juga menurunkan nyali dan “birahi” para koruptor untuk
melakukan korupsi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tidak mau
ketinggalan. Pada awal masa pemerintahannya, SBY juga meluncurkan Inpres
dan Keppres mengenai upaya pemberantasan korupsi, bahkan disertai
amanat-amanat ‘moralis’ yang secara langsung mengajak para petinggi di
negeri ini untuk bersikap jujur sekaligus menjauhkan diri dari sikap
koruptif yang tak terpuji itu.
Rezim pemerintahan memang terus berganti. Seiring dengan itu, sejumlah peraturan pun terus diperbarui. Namun
demikian, mentalitas korupsi hingga kini belum juga terkalahkan. Apa
sejatinya korupsi itu? Apa pula akar masalah dan dampaknya bagi
kehidupan berbangsa? Strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi
persoalan ini? Adakah solusi alternatif yang efektif untuk memberantas
korupsi? Memang banyak cara dan strategi yang ditempuh, namun tulisan
ini lebih fokus pada perspektif normatif, dengan pendekatan moral
sebagai titik sentralnya.
Definisi dan Redefinisi Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio yang berarti busuk atau rusak. Dalam padanan kata kerjanya, korupsi atau corrumpere juga dapat berarti menggoyahkan, memutar-balik, atau menyogok. Karena itu, Transparency International
mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal berusaha
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari
perspektif ini, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi
mencakup beberapa unsur, yaitu: a) melanggar hukum yang berlaku, b)
penyalahgunaan wewenang, c) merugikan negara, d) memperkaya pribadi/diri
sendiri.[1]
Sementara
itu, sosiolog Syed Hussein Alatas mendefinisikan korupsi sebagai
penyalah-gunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Esensinya adalah
bahwa korupsi merupakan pencurian yang dilakukan melalui penipuan dalam
situasi yang mengkhianati kepercayaan. Adapun Mark Phillip memberikan
tiga definisi berdasarkan orientasinya, yaitu public office-centered, public interest-centered, dan market-centered. Definisi public office-centered memandang korupsi sebagai tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi. Definisi public interest-centered melihat korupsi sebagai perilaku yang merugikan kesejahteraan publik. Sedangkan definisi market-centered
berdasar pada penggunaan metode ekonomi dalam analisis politik, dimana
korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pegawai
negeri untuk memperoleh pendapatan ekstra dari publik.
Secara legal-formal, UU No. 20/2001 Jo.
UU No. 31/1999 mendefinisikan korupsi sebagai suatu tindakan yang
melawan/melanggar hukum dengan menyalahgunakan
kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/
kedudukannya (abuse of power) untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan/perekonomian negara.[2]
Sejalan
dengan itu, Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa sebagai konsep korupsi
sebenarnya mempunyai makna generik yang sama dengan kolusi dan nepotisme
(KKN). Ketiga konsep itu bermuara kepada pemahaman yang sama, yaitu
menyangkut praktik penyalahgunaan kekuasaan (power) dan wewenang (authority),
baik yang dilakukan oleh seseorang, atau sekelompok orang, untuk
kepentingan diri sendiri, kelompok atau lembaga lainnya, sehingga
merugikan kepentingan masyarakat luas atau publik. Oleh karena itu
konsep kolusi dan nepoteisme juga berarti korupsi, karena dibalik
praktik kolusi dan nepotisme berlangsung penyalahgunaan kekuasaan dan
wewenang untuk menguntungkan diri dan kalangan sendiri, dengan
mengorbankan kepentingan orang banyak.[3]
JM. Wammey menyebutkan bahwa tidak semua korupsi mewujud dalam bentuk penyuapan (bribe)
berupa uang. Sebagai contoh seseorang yang memiliki posisi yang
berhadapan dengan kepentingan publik menggunakan waktu pelayanannya
untuk kebutuhan pribadi, seorang pemimpin yang menggunakan aparat
instansi atau kantor untuk digunakan atau dimanfaatkan secara pribadi.
Dalam beberapa kasus terdapat kerancuan istilah antara penyuapan (bribe) dengan hadiah (gift). Dalam beberapa hal, kedua istilah tersebut dapat dibedakan dari sisi, penyuapan bersifat reciprocity
sedangkan hadiah tidak. Sekalipun secara fundamental dapat dibedakan,
namun kadang-kadang masih tetap menemui kesulitan untuk membedakannya.
Sehingga muncul beberapa pertanyaan, apakah dengan demikian sebuah
hadiah dapat berubah menjadi penyuapan? Apakah mengukur besarnya hadiah
bisa dijadikan pembatas antara korupsi dan hadiah? Ataukah dapat
dibedakan dari sisi cara pemberian yang terang-terangan atau yang
bersifat tertutup? Mitos bahwa korupsi merupakan intrinsic nature sehingga tidak mungkin diukur, menyebabkan persoalan korupsi menjadi semakin rumit karena tipologinya juga kian beragam.[4]
Identifikasi Korupsi: Akar Masalah dan Dampaknya
Survey diagnostik atas tindak pidana korupsi yang dilakukan Partnership for Goverment Reform
menyebutkan empat alasan utama yang menjadi penyebab terjadinya praktik
korupsi. Keempat hal itu adalah rendahnya gaji (36%), kurangnya
pengawasan (19%), buruknya moral (16%), dan lemahnya penegakan hukum
(7%).[5]
Mengenai rendahnya gaji pegawai, Herbert Feith pernah melukiskan bahwa
Dr. A. Halim, Perdana Menteri Republik Indonesia pada tahun 1950 menulis
surat terbuka kepada Presiden Sukarno, dan menyatakan dengan tegas
bahwa gaji pegawai yang hanya cukup membiayai hidup untuk dua minggu
atau paling lama 20 hari, telah menyebabkan mereka rela menjual harga
dirinya dan melibatkan diri dalam korupsi kecil-kecilan (minor corruption).[6]
Korupsi kecil-kecilan yang dibiasakan dan dibiarkan ini kemudian
berkembang-biak dan lambat-laun menjadi jombi yang kian membudaya di
negeri ini.
Namun
begitu, di mata antropolog Sjafri Sairin, membiaknya praktik korupsi
lebih berkait erat dengan faktor mentalitas. Meskipun rendahnya gaji
dapat dipahami sebagai salah satu alasan, namun menurutnya, praktik
korupsi tidak berhubungan secara langsung dengan tinggi atau rendahnya
tingkat penghasilan. Mereka yang terjerumus pada praktik korupsi adalah
mereka yang memiliki mentalitas yang “selalu merasa kekurangan” (unsatiable mentality).
Mereka sepertinya tidak pernah merasa puas dengan penghasilan yang
telah diperoleh, walaupun menurut ukuran umum, sebenarnya penghasilan
itu sudah cukup untuk menopang kehidupan mereka secara wajar. Keinginan
untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak tidak pernah terpuaskan
sehingga terkesan serakah. Untuk memuaskan “rasa kurang” itu mereka
berusaha menempuh berbagai jalan, baik yang dilakukan sesuai dengan
peraturan, nilai moral dan etika, maupun yang berlawanan dengan itu.[7] Inilah sikap yang disebut sosiolog Kuntjaraningrat sebagai “mentalitas menerabas”.
Sementara
itu, budayawan Mudji Sutrisno menilai bahwa akar masalah munculnya
praktik korupsi adalah akibat demoralisasi. Menurutnya, manusia pada
dasarnya mempunyai kecenderungan dan niat untuk melakukan korupsi.
Namun, bila moralitasnya bagus, ia tidak akan pernah melakukannya.
Masalahnya sekarang adalah niat untuk korupsi ada, sementara sistem dan
budaya serta lingkungan juga mendukung terciptanya praktik korupsi. Ia
menambahkan bahwa munculnya demoralisasi pada tingkatan niat ini
ditandai dua hal. Pertama, adanya hak milik kolektif. Bila
seseorang menjadi penguasa atau pejabat publik atau bahkan menjadi diri
sendiri sekalipun, dia lantas akan merasa memiliki semua. Apa yang
seharusnya dikelolanya dengan tanggung jawab yang tinggi justru
dijadikan hak milik baginya. Akibatnya, mereka tidak merasa harus
bertanggung jawab secara moral terhadap apa yang dimilikinya tersebut. Kedua,
moralitas yang tertanam dalam diri individu mengalami krisis. Ini
ditandai dengan tidak adanya kesadaran dalam individu, apakah ia
melakukan perbuatan baik atau tidak. Dengan kata lain, sense of goodder and sense of badder
tidak tumbuh dalam diri individu sehingga ia tidak mengenali lagi
apakah yang dilakukannya baik atau tidak. Akibatnya, tidak ada konsep
moral dalam pekerjaannya. Hal inilah yang akhirnya merangsang munculnya
korupsi, kolusi, dan nepotisme di semua lini kehidupan.[8]
Solusi Korupsi Berbasis ”Normatif-Moralis”
Dengan
beragam argumen yang dikemukakan, pendekatan normatif terhadap gejala
korupsi memang cenderung menitikberatkan pada persoalan moralitas
sebagai pangkal kausalnya. Karena itu pula upaya antisipasi dan beragam
strategi yang ditempuhnya pun memposisikan pendekatan nilai moral
sebagai basis utamanya. Pendekatan “normatif-moralis” ini telah lama
diperlihatkan dan ditempuh. Salah satu contoh, misalnya, pada masa Orde
Baru dengan paradigma “WASKAT”. Konsep Waskat sering disebut sebagai
pengawasan melekat atau “pengawasan malaikat”. Artinya, agar para
pejabat terhindar dari sikap koruptif maka ia harus punya standar moral,
nilai atau etika tertentu sehingga ia merasa diawasi moral dan
perilakunya. Pendekatan ini tentu sangat populer karena secara langsung
dikampanyekan oleh Soeharto sebagai pemegang tapuk kekuasaan pada saat
itu, meskipun efektifitas program “WASKAT” ini kemudian tidak
memperlihatkan hasil yang memadai.
Masih
dalam konteks pendekatan normatif, John ST Quah, peneliti kebijakan
publik dan korupsi dari National University of Singapore (NUS),
mengatakan bahwa kunci sukses penanganan korupsi terletak pada dua unsur
penting. Pertama, komitmen yang kuat dari presiden atau petinggi negara. Kedua,
tersedianya instrumen dan aturan perundang-undangan yang baik. Menurut
Quah, strategi paling efektif untuk menanggulangi korupsi adalah
mengombinasikan komitmen pemimpin politik yang kuat dengan perangkat
instrumen yang memadai.[9]
Quah
juga menambahkan bahwa strategi penanggulangan korupsi harus diiringi
dengan upaya untuk meminimalisasi sebab-sebab munculnya tindak pidana
korupsi. Karena korupsi antara lain disebabkan oleh adanya insentif dan
kesempatan untuk melakukan tindakan korup, maka strategi komprehensif
untuk menanggulangi korupsi di sebuah negara harus mengikuti “the logic of corruption control”.
Artinya, logika pengendalian korupsi harus didesain untuk meminimalisir
atau bahkan menghilangkan insentif dan kesempatan yang menjadikan
korupsi menjadi sebuah godaan tak tertahankan.[10] Namun
demikian, parameternya tentu berbeda-beda antara satu negara dengan
negara lainnya. Namun sayangnya, di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia, parameter nilai moral masih menjadi indikator dominan.
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) melalui milinglist-nya pernah mengakomodasi beragam ide dengan melakukan inventarisasi “Kumpulan Tulisan Mengenai Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”.[11]
Sebagai sebuah ruang terbuka, masukan dan tawaran yang mengemuka dalam
milis itu tentu sangat beragam. Mulai dari usulan ‘sepele’ yang bersifat
guyon hingga tawaran strategi yang didasarkan atas hasil riset yang
serius dan mendalam. Dari sekian banyak tawaran solusi yang mengemuka,
pendekatan “normatif-moralis” ternyata memang masih banyak diandalkan.
Sebagai sebuah perspektif, pendekatan ini memang dapat dijadikan salah
satu rujukan. Namun tentu harus diakui bahwa strategi dan pendekatan ini
belum cukup memadai tanpa dibarengi strategi, pendekatan, serta
upaya-upaya lain yang justru lebih urgen dan substantif./end
***
[1] Lebih detil dapat disimak dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
[2]
Lebih rinci dapat disimak dalam UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi beserta penjelasannya.
[3]
Raharjo, M. Dawam (1999), “Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme (KKN): Kajian
Konseptual dan Kultural”, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti
(ed), Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta.
[4]
Wammey, J.M. (1999), “Can Corruption be Measured? Bank Offers
Diagnostic Tools to Measure and Combat Corruption in Member Countries.” Bank’s World, Vol.3 No.6, Website: http://www.ext/worldbank.org/bw7.
[5] Simak: Ratih Hardjono dan Stefanie Teggemann, ed. (TT). Kaum Miskin Bersuara: 17 Cerita Tentang Korupsi, Partnership for Goverment Reform in Indonesia, Jakarta.
[6] Feith, Herbert (1962), The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca.
[7] Sairin, Sjafri, “Efektivitas Gerakan Kultural dalam Pemberantasan Korupsi Nasional,” makalah Seminar Nasional Gerakan Kultural Ant- Korupsi dan Pemilihan Ekonomi dalam Rangka Sosialisasi Etika Kehidupan Berbangsa,
Kedeputian Bidang Sejarah dan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata RI dan Pengurus Pusat Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama,
Jakarta: 21 Juli 2004.
[9] Quah, John ST (1999), “Corruption in Asian Countris: Can It Be Minimized?”, Public Administration Review, Vol.59, No.6.
[10] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar