Di ambil dari kumpulan beberapa blog dan artikel...........
- karakter kebijakan pendidikan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Sebenarnya
dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli
kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak
akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya
bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah
baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.
Berikut adalah definisi kebijakan.
United Nations (1975) :
Suatu
deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan
tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas tertentu atau
suatu rencana(Wahab, 1990).
James E. Anderson (1978) :
perilaku
dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990).
Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt :
a
standing decision characterized by behavioral consistency and
repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide
by it (Jones, 1997).
B. KEBIJAKAN NEGARA
Kemudian,
mengenai definisi kebijakan Negara; dimana hal itu adalah sebuah konsep
yang berlaku dalam sebuah negara (nation), maka berikut ini adalah dua
definisi tentang kebijakan negara.
W.I Jenkins (1978) :
a
set of interrelated decisions taken by a political actor or group of
actors concerning the selection of goals and the means of achieving them
within a specified situation where these decisions should, in
principle, be within the power of these actors to achieve (seperangkat
keputusan-kepurusan yang saling berhubungan antar-satu sama lainnya;
dibuat oleh para pelaku politik (politisi) atau kelompok politisi
menyangkut pemilihan tujuan dan orientasi pencapaian tujuan tersebut
dalam situasi khusus dimana keputusan itu berada, secara prinsipil,
berada dalam kekuasaan para politisi ini).
Chief J.O Udouji (1981) :
an sanctioned course of action addressed to a particular problem or group of related problems that effect society at large (sebuah
rangkaian keputusan dalam hal pelaksanaan yang ditujukan untuk sebagian
masalah atau sekelompok masalah-masalah (yang saling berkaitan) dimana
seluruh masalah itu mempengaruhi masyarakat banyak).
C. KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.
Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan, Educational
policy is judgment, derived from some system of values and some
assesment of situational factors, operating within institutionalized
adecation as a general plan for guiding decision regarding means of
attaining desired educational objectives.
Pengertian
pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu
penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional,
yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk
panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang
diinginkan bisa dicapai.
Hal
menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni
Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok
undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip
Administrasi yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip
Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip
Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
Prinsip
yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah
pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen
dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca
perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan peraturan di
parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem administrasi
pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan
mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan
pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan
pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh
kekuatan politik. Prinsip keempat mengidikasikan bahwa pemegang
kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan
kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan
fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan
pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola
berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi
dari pemerintah lokal.
Nah,
dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang
dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang
legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara
moderat.
D. KRITERIA KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan
pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus
memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan
kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan
pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas
pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan
secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan
harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi
yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi
berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan
pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan
pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus
mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini
adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan
yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah
fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan
pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada
pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para
administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para
politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal
pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan
pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya
untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan,
sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan
adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan
pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus
memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin
diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas,
efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu
tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat
serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama
lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya
kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian,
secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan
kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan
kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.
E. SIAPAKAH PEMBUAT KEBIJAKAN PENDIDIKAN ?
Dalam prespektif Halligan, J dan J Power. 1992 dalam buku Political Management in the Nineties dinyatakan bahwa :
...three principle dimensions of policy process in government, expanding on the first model. The three dimensions are:
(i) Administrative.
Administrators maintain policy. They are primarily concerned that all
regulations are complied with. They strive for impartiality, continuity,
and procedural correctness. Administrators tend to be conservative, but
are generally willing to follow changes in policy once agreed, as their
function is to maintain policy. They strive to assure that any change
does not upset stability.
(ii) Management.
Managers launch activities within the frameworks given. Management
focuses on implementing changes, and thus are primarily concerned with
outputs than regulations and procedures.
(iii) Political.
The political process within the executive is led by politicians, the
elected head of government and ministers, who often rely on their senior
officials for political guidance. This function is the steering of
change. The political process initiates change, gains endorsement for
change by attending to numerous interest for and against change.
Sehingga,
sebagai kesimpulannya, bahwa para pembuat kebijakan itu adalah; 1)
administrator; 2) manajer; 3) politisi yang berada pada posisi
masing-masing sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan mereka dalam bidang
yang mereka tanggungjawabi.
Para
administrator itu akan memberikan program-program yang dirancangnya
dari konsep hingga praktis; manajer akan menjabarkan program-program itu
dengan pengembangan yang teknis; dan para politisi akan merancang
gerakan kebijakan yang mampu mewujudkan perubahan signifikan dalam
konteks jangka panjang (long-term) yang mengatur program-program pada
tingkatan struktur politik di daerah tempat program-program tersebut
diselenggarakan.
E. ANATOMI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INDONESIA
Pada
dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009--yang memiliki
orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan
Nasional 2005-2009--mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 pasal
31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi
Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 Tahun 2004
tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana
Kerja dan Anggara Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Setiap
kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada
pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang
pendidikan; baik di tingkat makro (masional); tingkat messo (daerah);
dan tingkat mikro (satuan pendidikan).
Keberadaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-Republik Indonesia (RI) sebagai
sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah
kebijakan paling tinggi di Indonesia tentunya sangat memperngaruhi
eksistensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu
yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri dan luar negeri.
Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden—eksekutif
nomor satu yang dibantu oleh Wakil Presiden; jajaran Kementerian; dan
jajaran badan/lembaga kelengkapan eksekutif negara---adalah para pembuat
kebijakanyang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.
Namun,
khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah
pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan
Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan
Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang
dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan
di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia.
Adapun,
dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah
pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda).
Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas
Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya
pemberlakuan kebijakan pendidikan di tingkat daerahnya masing-masing
yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil
permusyawaratan policy maker nasional.
Akhirnya,
keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat
kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang
berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
Berikut
ini adalah ilustrasi berupa bagan tentang anatomi kebijakan pendidkan
nasional berdasarkan kajian terhadap data Renstra Pendidikan Nasional
2005-2009 dan aspek empirik yang tengah berlangsung saat ini di
Indonesia dengan konsentrasi khusus untuk pengaturan pendidikan dasar
dan menengah (lihat di kiri atas; klik untuk resolusi besar).
- analisis kebijakan pendidikan
Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Duke dan Canady (1991) mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan
arah pemaknaan kebijakan, yaitu: (1) kebijakan sebagai penegasan maksud
dan tujuan, (2) kebijakan sebagai sekumpulan keputusan lembaga yang
digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan, melayani, dan
lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, (3) kebijakan sebagai
panduan tindakan diskresional, (4) kebijakan sebagai strategi yang
diambil untuk memecahkan masalah, (5) kebijakan sebagai perilaku yang
bersanksi, (6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi,
dan keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substantif, (7)
kebijakan sebagai keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan (8) kebijakan
sebagai pengaruh pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman
khalayak sasaran terhadap implementasi sistem.
Ketika memberikan pengantar untuk paparan sejumlah kasus kebijakan
pendidikan di beberapa negara maju, Hough (1984) memberikan kontribusi
sangat berarti bagi para pengkaji kebijakan pendidikan. Kontribusi ini
terutama menyangkut isu-isu konseptual dan teoretik yang mampu
memberikan kerangka pemahaman utuh bagi analisis kebijakan pendidikan.
Hough (1984) juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa
menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program,
keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang
atau peraturan-peraturan. Bertolak dari konseptualisasi ini, misalnya,
ujian nasional merupakan salah satu bentuk kebijakan pendidikan. Ujian
nasional memadai untuk dikategorikan sebagai kebijakan karena: (1)
dengan jelas dimaksudkan untuk mencapai seperangkat tujuan, (2)
senantiasa menyertakan rencana pelaksanaan, (3) merupakan program
pemerintah, (4) merupakan seperangkat keputusan yang dibuat oleh lembaga
dan atau pejabat pendidikan, (5) menghadirkan sejumlah pengaruh,
akibat, dampak dan atau konsekuensi, (6) dituangkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan dan peraturan lembaga terkait.
B. Daur Kebijakan Pendidikan
Kontribusi Hough (1984) yang juga sangat penting adalah penjelasannya
mengenai tahapan-tahapan dalam proses kebijakan. Kerangka analisis yang
ditujukan pada proses kebijakan mencakup: (1) Kemunculan isu dan
identifikasi masalah, (2) perumusan dan otorisasi kebijakan, (3)
implementasi kebijakan, (4) dan perubahan atau pemberhentian kebijakan.
Pada tahap kemunculan isu dan identifikasi masalah, dilakukan
pengenalan terhadap suatu masalah atau persoalan yang memerlukan
perhatian pemerintah, masalah-masalah yang memdapat tempat dalam agenda
publik serta agenda resmi, serta mobilisasi dan dukungan awal bagi
strategi tertentu.
Pada tahap perumusan dan otorisasi kebijakan, dilakukan eksplorasi
berbagai alternatif, perumusan seperangkat tindakan yang lebih dipilih,
usaha-usaha untuk mencapai konsensus atau kompromi, otorisasi formal
strategi tertentu seperti melalui proses legislasi, isu pengaturan atau
penerbitan arahan-arahan.
Pada tahap implementasi, dilakukan interpretasi terhadap kebijakan
dan aplikasinya terhadap kasus tertentu, serta pengembangan satu atau
lebih program sebagai alternatif yang dipilih untuk memecahkan masalah
yang dihadapi.
Pada tahap penghentian atau perubahan kebijakan, dilakukan
penghentian karena masalah telah dipecahkan, kebijakan tidak berhasil
atau hasilnya dinilai tidak diinginkan, melakukan perubahan mendasar
berdasarkan umpan-balik, atau mengganti kebijakan tertentu dengan
kebijakan baru.
Aspek kedua yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan
adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak
muncul dalam kebampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat
nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu.
Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu,
kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek ketiga yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan
adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan
menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi
kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal
memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi
kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari
kelompok kepentingan, partai politik, dan media. Dalam aktor kebijakan
resmi, juga dibagi-bagi lagi --- tetapi mengikuti sistem pemerintahan
negara yang dikaji --- mulai dari pejabat senior hingga partai politik,
lembaga pendidikan, lain-lain lembaga terkait pendidikan, dan antar
badan antar pemerintah.
Pada aktor informal, atau tak resmi, terdapat kelompok kepentingan,
partai politik, serta media massa. Kelompok kepentingan ini antara lain
serikat guru, asosiasi yang mewakili jenis atau jenjang pendidikan
tertentu, asosiasi yang mewakili peserta didik, asosiasi yang mewakili
pimpinan perguruan tinggi, hingga asosiasi yang mewakili orangtua
peserta didik.
Berdasarkan seluruh kajian yang dilakukan, memang tidak mungkin untuk
disimpulkan secara umum. Namun demikian, jelas bahwa kadang-kadang
kebijakan pendidikan secara terbuka dan hati-hati dihentikan,
dimodifikasi, dihaluskan, atau diganti dengan kebijakan lain.
C. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Grindle (1980) menempatkan implementasi kebijakan sebagai suatu
proses politik dan administratif. Dengan memanfaatkan diagram yang
dikembangkan, jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat
dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat
umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah
dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran tersebut. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi
implementasi kebijakan publik apapun.
Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka kebijakan publik boleh
dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik. Secara teoretik
pada tahap implementasi ini proses perumusan kebijakan dapat digantikan
tempatnya oleh proses implementasi kebijakan, dan program-program
kemudian diaktifkan. Tetapi dalam praktik, pembedaan antar tahap
perumusan kebijakan dan tahap implementasi kebijakan sebenarnya sulit
dipertahankan, karena umpan balik dari prosedur-prosedur implementasi
mungkin menyebabkan diperlukannya perubahan-perubahan tertentu pada
tujuan-tujuan dan arah kebijakan yang sudah ditetapkan. Atau
aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan ternyata perlu
ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap
pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.
Bagan Implementasi sebagai Proses Politik dan Administratif
Lebih khusus lagi, dilihat dari sudut proses implementasi,
keputusan-keputusan yang telah dibuat pada tahap rancangan atau
perumusan berpengaruh terhadap lancar atau tidaknya implementasi. Hal
ini kiranya akan menjadi jelas dengan mengambil contoh dampak tertentu
yang ditimbulkan terhadap implementasi dari keputusan untuk
mengalokasikan sejumlah besar dana yang dimaksudkan unhik mewujudkan
tujuan kebijakan tertentu.
Perlu pula ditambahkan bahwa proses implementasi untuk sebagian besar
dipengaruhi oleh macam tujuan yang ingin dicapai dan oleh cara
perumusan tujuan. Dengan demikian perumusan keputusan atau mungkin
bahkan tidak dirumuskan sama sekali mengenai macam kebijakan yang akan
ditempuh serta macam program yang akan dilaksanakan merupakan
faktor-faktor yang menentukan apakah program-program tersebut akan dapat
dilaksanakan dengan berhasil ataukah tidak.
Muatan dari pelbagai kebijakan kerapkali juga menentukan letak
implementasinya. Implementasi beberapa kebijakan tertentu biasanya hanya
melibatkan sejumlah kecil satuan-satuan pembuat keputusan kunci di
tingkat nasional, misalnya aktor-aktor yang menduduki posisi-posisi
puncak.
Sebaliknya, ada pula kebijakan yang dilaksanakan oleh sejumlah besar
pambuat keputusan yang posisinya bertebaran dalam wilayah geografis dan
administratif yang luas, sekalipun biasanya hanya melibatkan suatu
organisasi birokrasi tunggal. Di samping itu berbagai pejabat di daerah
mungkin dilibatkan sebagai pelaksana-pelaksana dari program-program yang
telah dirancang.
Semakin tersebar posisi implementasi, baik secara geografis maupun
secara organisatoris-administratif, maka semakin sulit pula tugas-tugas
implementasi suatu program. Sebabnya ialah karena makin banyak jumlah
satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.
Keputusan-keputusan yang dibuat pada saat perumusan kebijakan dapat
pula menunjukkan siapa yang akan ditugasi untuk mengimplementasikan
berbagai program yang ada. Keputusan-keputusan demikian ini pada
gilirannya akan dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan itu akan
diwujudkan di kelak kemudian hari. Dalam hubungan ini mungkin akan dapat
dideteksi secara dini adanya perbedaan-pebedaan tertentu pada berbagai
satuan birokrasi yang akan terlibat langsung dalam pengeloaan program.
Perbedaan itu, misalnya dalam hal tingkat kemampuan administratif atau
manajerialnya. Di antara berbagai satuan birokrasi itu mungkin memiliki
staf yang aktif, berkeahlian, dan berdedikasi tinggi terhadap
keberhasilan pelaksanaan tugas, sedangkan satuan-satuan birokrasi
lainnya tidak.
Sementara itu, beberapa di antara satuan birokrasi tersebut mungkin
akan mendapatkan dukungan yang lebih besar dari elite-elite politik yang
berkuasa dan, karena itu, mereka dalam menjalankan tugasnya akan
memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan sumber-sumber yang
diperlukan. Di lain pihak, beberapa satuan birokrasi lainnya mungkin
lebih mampu menanggulangi berbagai macam tuntutan dan kendala yang
menghadang mereka.
Bentuk tujuan-tujuan kebijakan juga membawa dampak terhadap
implementasinya. Dalam hubungan ini apakah tujuan-tujuan itu telah
dirumuskan dengan jelas ataukah masih kabur, dan apakah pejabat-pejabat
politik dan administrasi memiliki komitmen yang tinggi terhadap
tujuan-tujuan tersebut ataukah tidak, pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan proses implementasinya.
Dari berbagai penjelasan di atas, jelas bahwa muatan program daii
muatan kebijakan publik itu berpengaruh terhadap hasil akhir
implementasinya. Namun sebagaimana telah ditunjukkan dalam diagram tadi,
muatan program atau muatan kebijakan itu menjadi faktor yang
berpengaruh karena dampaknya yang nyata atau yang potensial terhadap
lingkungan sosial, politik dan ekonomi tertentu. Oleh sebab itu, penting
sekali untuk memperhitungkan konteks atau lingkungan implementasi
kebijakan.
Dalam proses implementasi atau pengadministrasian setiap program
mungkin banyak aktor yang terlibat dalam penentuan pilihan-pilihan
mengenai alokasi sumber-sumber publik tertentu serta banyak pihak yang
mungkin berusaha keras untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut.
Berbagai pihak yang kemungkinan berpihak dalam implementasi program
tertentu ialah para perencana tingkat nasional; para politisi tingkat
nasional, regional dan lokal; kelompok-kelompok elite ekonomi, khususnya
di tingkat lokal; kelompok-kelompok penerima program dan para pelaksana
atau para birokrat pada tingkat menengah atau bawah. Aktor-aktor
tersebut mungkin terlibat secara penuh ataukah tidak dalam implementasi
program tertentu sedikit banyak akan ditentukan oleh muatan program dan
bagaimana bentuk pengadministrasian programnya.
Masing-masing aktor mungkin mempunyai kepentingan tertentu dalam
program tersebut, dan masing-masing mungkin berusaha untuk mencapainya
dengan cara mengajukan tuntutan-tuntutan mereka dalam prosedur alokasi
sumber. Seringkali terjadi, tujuan-tujuan dari para aktor itu
bertentangan satu sama lain dan hasil akhir dari pertentangan ini serta
akibatnya mengenai siapa yang memperoleh apa, akan ditentukan strategi,
sumber-sumber, dan posisi kekuasaan dari tiap aktor yang terlibat.
Apa yang diimplementasikan dengan demikian merupakan hasil suatu
tarik-ulur kepentingan-kepentingan politik dan kelompok-kelompok yang
saling berebut sumber-sumber yang langka, daya tanggap dari
pejabat-pejabat pelaksana serta tindakan dari para elite politik yang
kesemuanya itu berinteraksi dalam kelembagaan tertentu. Oleh karena itu
analisis mengenai program-program tertentu berarti pula menilai
kemampuan-kemampuan kekuasaan dari para aktor yang terlibat,
kepentingan-kepentingan mereka dan strategi-strategi yang mereka tempuh
untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut serta ciri-ciri
pemerintahan dimana mereka berinteraksi. Hal ini pada gilirannya akan
memudahkan penilaian terhadap peluang untuk mencapai tujuan-tujuan
kebijakan maupun tujuan-tujuan program.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut para pejabat akan
dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu yang menyangkut lingkungan
interaksi program dan administrasi program. Untuk itu pertama-tama para
pejabat tersebut harus memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana
mencapai konsistensi tujuan-tujuan yang termaktub di dalam kebijakan.
Misalnya mereka harus berusaha mendapatkan dukungan dari para elite
politik dan kesediaan dari instansi-instansi pelaksana, dari para
birokrat yang ditugasi untuk melaksanakan program dari para elite
politik pada tingkat rendah, serta dari pihak-pihak ynag diharapkan
menerima manfaat program tersebut. Selanjutnya mereka harus mampu
merubah sikap menentang dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh
program tersebut menjadi sikap menerima terhadapnya, serta mereka harus
tetap waspada terhadap pihak-pihak yang diabaikan oleh program tersebut,
tetapi tetap bersikeras untuk memperoleh manfaat, khususnya terhadap
usaha-usaha yang mungkin mereka lakukan untuk menggerogotinya. Upaya
untuk menumbuhkan kesediaan bahkan kepatuhan dari berbagai pihak
tersebut di atas boleh jadi berarti semakin banyak dilakukan negosiasi,
akomodasi, dan lagi-lagi konflik tertentu. Namun, jika keseluruhan
tujuan-tujuan kebijakan tersebut ingin diwujudkan, maka sumber-sumber
yang dipakai untuk mendapatkan kesediaan itu tidak perlu harus
mengorbankan dampak atau sasaran pokok dari program.
Sisi lain dari masalah pencapaian tujuan-tujuan kebijakan dan program
dalam suatu lingkungan tertentu ialah daya tanggap. Idealnya
lembaga-lembaga publik semisal birokrasi harus tanggap terhadap
kebutuhan-kebutuhan dari pihak-pihak yang mereka harapkan menerima
manfaat sebagai upaya untuk melayaninya sebaik mungkin. Tambahan pula,
tanpa adanya daya tanggap tertentu selama implementasi, pejabat-pejabat
pemerintah akan tidak mempunyai informasi yang memadai guna mengevaluasi
prestasi dan keberhasilan suatu program.
Dalam banyak hal, daya tanggap mungkin pula berarti bahwa
tujuan-tujuan kebijakan tidak tercapai karena adanya campur tangan
individu-individu atau kelompok-kelompok yang sama, baik dalam rangka
untuk mendapatkan barang dan layanan tertentu dalam jumlah yang lebih
besar ataupun untuk menghambat jalannya program tertentu yang boleh jadi
tidak mereka terima sebagai sesuatu yang bermanfaat. Bagi
administrator-administrator kebijakan masalahnya dengan demikian adalah
bagaimana menciptakan situasi yang kondusif dan menjamin adanya respon
yang memadai guna memungkinkan keluwesan, dukungan, dan umpan balik
selama proses implementasi program, sementara pada saat yang sama tetap
mengusahakan adanya kontrol yang memadai atas distribusi sumber-sumber
yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam kebijakan itu.
Untuk membuat keseimbangan semacam itu jelas bukan merupakan
pekerjaan yang gampang, karena membutuhkan kejelian politik tertentu
dalam memperhitungkan berbagai kemungkinan tanggapan yang muncul dari
para aktor yang terlibat serta kemampuan , mereka untuk menggagalkan
tujuan-tujuan program. Oleh sebab itu, maka agar supaya efektif, para
pelaksana haruslah mempunyai kecakapan dalam seni berpolitik serta harus
mempunyai pemahaman yang baik mengenai lingkungan di mana mereka
berusaha untuk mewujudkan kebijakan publik dan program-programnya.
Masalah-masalah ideologi, kebudayaan, aliensi politik dan
peristiwa-peristiwa merupakan faktor-faktor lingkungan lainnya yang
mungkin membawa dampak tertentu terhadap proses implementasi kebijakan
publik. Lebih lanjut, karena program-program apa pun tidaklah
diimplementasikan dalam keadaan terisolasi dari kebijakan-kebijakan
publik lainnya, maka keberhasilan suatu program tertentu akan dengan
mudah dipengaruhi oleh prioritas-prioritas dari pejabat-pejabat politik
ataupun hasil akhir dari program-program lainnya. Faktor-faktor tersebut
menegaskan bahwa program-program yang muatannya serupa mungkin akan
diimplementasikan secara berbeda jika lingkungan di mana program
tersebut dilaksanakan amat berlainan.
Berdasarkan kajiannya terhadap proses pembuatan pilihan dalam
implementasi kebijakan di negara-negara sedang berkembang, Grindle
(1980) mengajukan model pilihan-pilihan kritis dalam proses
implementasi. Dalam model ini, implementasi kebijakan diletakkan dalam
konteks politiko-administratif (Periksa Bagan).
.
Bagan Pilihan-pilihan Kritis Proses Implementasi Kebijakan
Pada bagian pertama, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan
defmisi kebijakan dan program, serta pengaruhnya terhadap usaha
implementasi yang mengikuti. Bagian kedua, pilihan-pilihan harus dibuat
berkenaan dengan strategi implementasi dan konsekuensinya terhadap
penyaluran program. Bagian ketiga, dipertanyakan siapa yang memetik
keuntungan? Untuk itu pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan
alokasi sumber dan konsekuensinya terhadap kelompok dan individu di
masyarakat.
D. Permasalahan Analisis dan Penilaian Kebijakan
Mengikuti kerangka kerja analisis dan penilaian kebijakan publik (a framework for public policy analysis and policy evaluation) Theo Jans (2007), dapat dikenali dua kelompok permasalahan kebijakan.
Kelompok permasalahan pertama meliputi: (1) kajian tentang bagaimana,
mengapa, dan apa pengaruh yang timbul dari adanya tindakan atau tidak
adanya tindakan pemerintah (the study of ‘how, why and to what effect governments pursue particular courses of action and inaction),
(2) kajian tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka
melakukannya, dan perbedaan-perbedaan apa yang timbul karenanya (what governments do, why they do it, and what difference does it make), dan (3) kajian tentang sifat dasar, sebab-sebab, dan akibat kebijakan publik (the study of the nature, causes, and effects of public policies).
Kelompok permasalahan kedua meliputi: (1) kajian tentang bagaimana masalah-masalah dan isu-isu disusun dan dirumuskan (how are problems and issues defined and constructed?), (2) kajian tentang bagaimana kebijakan ditempatkan dalam agenda politik dan kebijakan (how are they placed on political and policy agenda?), (3) kajian tentang bagaimana pilihan-pilihan kebijakan muncul (how policy options emerge?), (4) kajian tentang bagaimana dan mengapa pemerintah melakukan atau tidak melakukan sesuatu (how and why governments act or do not act?), dan (5) kajian tentang apa saja akibat yang timbul dari kebijakan pemerintah (what are the effects of government policy?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar