Sabtu, 16 Maret 2013

Karakter dan analisis kebijakan pendidikan

 Di ambil dari kumpulan beberapa blog dan artikel...........

  •  karakter kebijakan pendidikan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.
Berikut adalah definisi kebijakan.
United Nations (1975) :
Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990).
James E. Anderson (1978) :
perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990).
Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt :
a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).

B. KEBIJAKAN NEGARA
Kemudian, mengenai definisi kebijakan Negara; dimana hal itu adalah sebuah konsep yang berlaku dalam sebuah negara (nation), maka berikut ini adalah dua definisi tentang kebijakan negara.
W.I Jenkins (1978) :
a set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve (seperangkat keputusan-kepurusan yang saling berhubungan antar-satu sama lainnya; dibuat oleh para pelaku politik (politisi) atau kelompok politisi menyangkut pemilihan tujuan dan orientasi pencapaian tujuan tersebut dalam situasi khusus dimana keputusan itu berada, secara prinsipil, berada dalam kekuasaan para politisi ini).
Chief J.O Udouji (1981) :
an sanctioned course of action addressed to a particular problem or group of related problems that effect society at large (sebuah rangkaian keputusan dalam hal pelaksanaan yang ditujukan untuk sebagian masalah atau sekelompok masalah-masalah (yang saling berkaitan) dimana seluruh masalah itu mempengaruhi masyarakat banyak).

C. KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.
Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining  desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip Administrasi yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
   Nah, dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.

D. KRITERIA KEBIJAKAN PENDIDIKAN
            Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1.      Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2.      Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.

3.      Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4.      Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5.      Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6.      Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.
E. SIAPAKAH PEMBUAT KEBIJAKAN PENDIDIKAN ?
            Dalam prespektif Halligan, J dan J Power. 1992 dalam buku Political Management in the Nineties dinyatakan bahwa :

...three principle dimensions of policy process in government, expanding on the first model. The three dimensions are:
(i)                   Administrative. Administrators maintain policy. They are primarily concerned that all regulations are complied with. They strive for impartiality, continuity, and procedural correctness. Administrators tend to be conservative, but are generally willing to follow changes in policy once agreed, as their function is to maintain policy. They strive to assure that any change does not upset stability.
(ii)                 Management. Managers launch activities within the frameworks given. Management focuses on implementing changes, and thus are primarily concerned with outputs than regulations and procedures.
(iii)                Political. The political process within the executive is led by politicians, the elected head of government and ministers, who often rely on their senior officials for political guidance. This function is the steering of change. The political process initiates change, gains endorsement for change by attending to numerous interest for and against change.

Sehingga, sebagai kesimpulannya, bahwa para pembuat kebijakan itu adalah; 1) administrator; 2) manajer; 3) politisi yang berada pada posisi masing-masing sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan mereka dalam bidang yang mereka tanggungjawabi.
Para administrator itu akan memberikan program-program yang dirancangnya dari konsep hingga praktis; manajer akan menjabarkan program-program itu dengan pengembangan yang teknis; dan para politisi akan merancang gerakan kebijakan yang mampu mewujudkan perubahan signifikan dalam konteks jangka panjang (long-term) yang mengatur program-program pada tingkatan struktur politik di daerah tempat program-program tersebut diselenggarakan.



E. ANATOMI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INDONESIA
Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009--yang memiliki orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009--mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggara Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan; baik di tingkat makro (masional); tingkat messo (daerah); dan tingkat mikro (satuan pendidikan).
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-Republik Indonesia (RI) sebagai sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di Indonesia tentunya sangat memperngaruhi eksistensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden—eksekutif nomor satu yang dibantu oleh Wakil Presiden; jajaran Kementerian; dan jajaran badan/lembaga kelengkapan eksekutif negara---adalah para pembuat kebijakanyang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.
Namun, khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia.
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.
Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
Berikut ini adalah ilustrasi berupa bagan tentang anatomi kebijakan pendidkan nasional berdasarkan kajian terhadap data Renstra Pendidikan Nasional 2005-2009 dan aspek empirik yang tengah berlangsung saat ini di Indonesia dengan konsentrasi khusus untuk pengaturan pendidikan dasar dan menengah (lihat di kiri atas; klik untuk resolusi besar).


  • analisis kebijakan pendidikan

Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Duke dan Canady (1991) mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu: (1) kebijakan sebagai penegasan maksud dan tujuan, (2) kebijakan sebagai sekumpulan keputusan lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan, melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, (3) kebijakan sebagai panduan tindakan diskresional, (4) kebijakan sebagai strategi yang diambil untuk memecahkan masalah, (5) kebijakan sebagai perilaku yang bersanksi, (6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substantif, (7) kebijakan sebagai keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan (8) kebijakan sebagai pengaruh pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran terhadap implementasi sistem.
Ketika memberikan pengantar untuk paparan sejumlah kasus kebijakan pendidikan di beberapa negara maju, Hough (1984) memberikan kontribusi sangat berarti bagi para pengkaji kebijakan pendidikan. Kontribusi ini terutama menyangkut isu-isu konseptual dan teoretik yang mampu memberikan kerangka pemahaman utuh bagi analisis kebijakan pendidikan.
Hough (1984) juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan. Bertolak dari konseptualisasi ini, misalnya, ujian nasional merupakan salah satu bentuk kebijakan pendidikan. Ujian nasional memadai untuk dikategorikan sebagai kebijakan karena: (1) dengan jelas dimaksudkan untuk mencapai seperangkat tujuan, (2) senantiasa menyertakan rencana pelaksanaan, (3) merupakan program pemerintah, (4) merupakan seperangkat keputusan yang dibuat oleh lembaga dan atau pejabat pendidikan, (5) menghadirkan sejumlah pengaruh, akibat, dampak dan atau konsekuensi, (6) dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lembaga terkait.
B. Daur Kebijakan Pendidikan
Kontribusi Hough (1984) yang juga sangat penting adalah penjelasannya mengenai tahapan-tahapan dalam proses kebijakan. Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup: (1) Kemunculan isu dan identifikasi masalah, (2) perumusan dan otorisasi kebijakan, (3) implementasi kebijakan, (4) dan perubahan atau pemberhentian kebijakan.
Pada tahap kemunculan isu dan identifikasi masalah, dilakukan pengenalan terhadap suatu masalah atau persoalan yang memerlukan perhatian pemerintah, masalah-masalah yang memdapat tempat dalam agenda publik serta agenda resmi, serta mobilisasi dan dukungan awal bagi strategi tertentu.
Pada tahap perumusan dan otorisasi kebijakan, dilakukan eksplorasi berbagai alternatif, perumusan seperangkat tindakan yang lebih dipilih, usaha-usaha untuk mencapai konsensus atau kompromi, otorisasi formal strategi tertentu seperti melalui proses legislasi, isu pengaturan atau penerbitan arahan-arahan.
Pada tahap implementasi, dilakukan interpretasi terhadap kebijakan dan aplikasinya terhadap kasus tertentu, serta pengembangan satu atau lebih program sebagai alternatif yang dipilih untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Pada    tahap    penghentian atau perubahan kebijakan, dilakukan penghentian karena masalah telah dipecahkan, kebijakan tidak berhasil atau hasilnya dinilai tidak diinginkan, melakukan perubahan mendasar berdasarkan umpan-balik, atau mengganti kebijakan tertentu dengan kebijakan baru.
Aspek kedua yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kebampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek ketiga yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media. Dalam aktor kebijakan resmi, juga dibagi-bagi lagi --- tetapi mengikuti sistem pemerintahan negara yang dikaji --- mulai dari pejabat senior hingga partai politik, lembaga pendidikan, lain-lain lembaga terkait pendidikan, dan antar badan antar pemerintah.
Pada aktor informal, atau tak resmi, terdapat kelompok kepentingan, partai politik, serta media massa. Kelompok kepentingan ini antara lain serikat guru, asosiasi yang mewakili jenis atau jenjang pendidikan tertentu, asosiasi yang mewakili peserta didik, asosiasi yang mewakili pimpinan perguruan tinggi, hingga asosiasi yang mewakili orangtua peserta didik.
Berdasarkan seluruh kajian yang dilakukan, memang tidak mungkin untuk disimpulkan secara umum. Namun demikian, jelas bahwa kadang-kadang kebijakan pendidikan secara terbuka dan hati-hati dihentikan, dimodifikasi, dihaluskan, atau diganti dengan kebijakan lain.
C. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Grindle (1980) menempatkan implementasi kebijakan sebagai suatu proses politik dan administratif. Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan, jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan publik apapun.
Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka kebijakan publik boleh dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik. Secara teoretik pada tahap implementasi ini proses perumusan kebijakan dapat digantikan tempatnya oleh proses implementasi kebijakan, dan program-program kemudian diaktifkan. Tetapi dalam praktik, pembedaan antar tahap perumusan kebijakan dan tahap implementasi kebijakan sebenarnya sulit dipertahankan, karena umpan balik dari prosedur-prosedur implementasi mungkin menyebabkan diperlukannya perubahan-perubahan tertentu pada tujuan-tujuan dan arah kebijakan yang sudah ditetapkan. Atau aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan ternyata perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.

Bagan  Implementasi sebagai Proses Politik dan Administratif
Lebih khusus lagi, dilihat dari sudut proses implementasi, keputusan-keputusan yang telah dibuat pada tahap rancangan atau perumusan berpengaruh terhadap lancar atau tidaknya implementasi. Hal ini kiranya akan menjadi jelas dengan mengambil contoh dampak tertentu yang ditimbulkan terhadap implementasi dari keputusan untuk mengalokasikan sejumlah besar dana yang dimaksudkan unhik mewujudkan tujuan kebijakan tertentu.
Perlu pula ditambahkan bahwa proses implementasi untuk sebagian besar dipengaruhi oleh macam tujuan yang ingin dicapai dan oleh cara perumusan tujuan. Dengan demikian perumusan keputusan atau mungkin bahkan tidak dirumuskan sama sekali mengenai macam kebijakan yang akan ditempuh serta macam program yang akan dilaksanakan merupakan faktor-faktor yang menentukan apakah program-program tersebut akan dapat dilaksanakan dengan berhasil ataukah tidak.
Muatan dari pelbagai kebijakan kerapkali juga menentukan letak implementasinya. Implementasi beberapa kebijakan tertentu biasanya hanya melibatkan sejumlah kecil satuan-satuan pembuat keputusan kunci di tingkat nasional, misalnya aktor-aktor yang menduduki posisi-posisi puncak.
Sebaliknya, ada pula kebijakan yang dilaksanakan oleh sejumlah besar pambuat keputusan yang posisinya bertebaran dalam wilayah geografis dan administratif yang luas, sekalipun biasanya hanya melibatkan suatu organisasi birokrasi tunggal. Di samping itu berbagai pejabat di daerah mungkin dilibatkan sebagai pelaksana-pelaksana dari program-program yang telah dirancang.
Semakin tersebar posisi implementasi, baik secara geografis maupun secara organisatoris-administratif, maka semakin sulit pula tugas-tugas implementasi suatu program. Sebabnya ialah karena makin banyak jumlah satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.
Keputusan-keputusan yang dibuat pada saat perumusan kebijakan dapat pula menunjukkan siapa yang akan ditugasi untuk mengimplementasikan berbagai program yang ada. Keputusan-keputusan demikian ini pada gilirannya akan dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan itu akan diwujudkan di kelak kemudian hari. Dalam hubungan ini mungkin akan dapat dideteksi secara dini adanya perbedaan-pebedaan tertentu pada berbagai satuan birokrasi yang akan terlibat langsung dalam pengeloaan program. Perbedaan itu, misalnya dalam hal tingkat kemampuan administratif atau manajerialnya. Di antara berbagai satuan birokrasi itu mungkin memiliki staf yang aktif, berkeahlian, dan berdedikasi tinggi terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas, sedangkan satuan-satuan birokrasi lainnya tidak.
Sementara itu, beberapa di antara satuan birokrasi tersebut mungkin akan mendapatkan dukungan yang lebih besar dari elite-elite politik yang berkuasa dan, karena itu, mereka dalam menjalankan tugasnya akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan sumber-sumber yang diperlukan. Di lain pihak, beberapa satuan birokrasi lainnya mungkin lebih mampu menanggulangi berbagai macam tuntutan dan kendala yang menghadang mereka.
Bentuk tujuan-tujuan kebijakan juga membawa dampak terhadap implementasinya. Dalam hubungan ini apakah tujuan-tujuan itu telah dirumuskan dengan jelas ataukah masih kabur, dan apakah pejabat-pejabat politik dan administrasi memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan-tujuan tersebut ataukah tidak, pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan proses implementasinya.
Dari berbagai penjelasan di atas, jelas bahwa muatan program daii muatan kebijakan publik itu berpengaruh terhadap hasil akhir implementasinya. Namun sebagaimana telah ditunjukkan dalam diagram tadi, muatan program atau muatan kebijakan itu menjadi faktor yang berpengaruh karena dampaknya yang nyata atau yang potensial terhadap lingkungan sosial, politik dan ekonomi tertentu. Oleh sebab itu, penting sekali untuk memperhitungkan konteks atau lingkungan implementasi kebijakan.
Dalam proses implementasi atau pengadministrasian setiap program mungkin banyak aktor yang terlibat dalam penentuan pilihan-pilihan mengenai alokasi sumber-sumber publik tertentu serta banyak pihak yang mungkin berusaha keras untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Berbagai pihak yang kemungkinan berpihak dalam implementasi program tertentu ialah para perencana tingkat nasional; para politisi tingkat nasional, regional dan lokal; kelompok-kelompok elite ekonomi, khususnya di tingkat lokal; kelompok-kelompok penerima program dan para pelaksana atau para birokrat pada tingkat menengah atau bawah. Aktor-aktor tersebut mungkin terlibat secara penuh ataukah tidak dalam implementasi program tertentu sedikit banyak akan ditentukan oleh muatan program dan bagaimana bentuk pengadministrasian programnya.
Masing-masing aktor mungkin mempunyai kepentingan tertentu dalam program tersebut, dan masing-masing mungkin berusaha untuk mencapainya dengan cara mengajukan tuntutan-tuntutan mereka dalam prosedur alokasi sumber. Seringkali terjadi, tujuan-tujuan dari para aktor itu bertentangan satu sama lain dan hasil akhir dari pertentangan ini serta akibatnya mengenai siapa yang memperoleh apa, akan ditentukan strategi, sumber-sumber, dan posisi kekuasaan dari tiap aktor yang terlibat.
Apa yang diimplementasikan dengan demikian merupakan hasil suatu tarik-ulur kepentingan-kepentingan politik dan kelompok-kelompok yang saling berebut sumber-sumber yang langka, daya tanggap dari pejabat-pejabat pelaksana serta tindakan dari para elite politik yang kesemuanya itu berinteraksi dalam kelembagaan tertentu. Oleh karena itu analisis mengenai program-program tertentu berarti pula menilai kemampuan-kemampuan kekuasaan dari para aktor yang terlibat, kepentingan-kepentingan mereka dan strategi-strategi yang mereka tempuh untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut serta ciri-ciri pemerintahan dimana mereka berinteraksi. Hal ini pada gilirannya akan memudahkan penilaian terhadap peluang untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan maupun tujuan-tujuan program.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut para pejabat akan dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu yang menyangkut lingkungan interaksi program dan administrasi program. Untuk itu pertama-tama para pejabat tersebut harus memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana mencapai konsistensi tujuan-tujuan yang termaktub di dalam kebijakan. Misalnya mereka harus berusaha mendapatkan dukungan dari para elite politik dan kesediaan dari instansi-instansi pelaksana, dari para birokrat yang ditugasi untuk melaksanakan program dari para elite politik pada tingkat rendah, serta dari pihak-pihak ynag diharapkan menerima manfaat program tersebut. Selanjutnya mereka harus mampu merubah sikap menentang dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh program tersebut menjadi sikap menerima terhadapnya, serta mereka harus tetap waspada terhadap pihak-pihak yang diabaikan oleh program tersebut, tetapi tetap bersikeras untuk memperoleh manfaat, khususnya terhadap usaha-usaha yang mungkin mereka lakukan untuk menggerogotinya. Upaya untuk menumbuhkan kesediaan bahkan kepatuhan dari berbagai pihak tersebut di atas boleh jadi berarti semakin banyak dilakukan negosiasi, akomodasi, dan lagi-lagi konflik tertentu. Namun, jika keseluruhan tujuan-tujuan kebijakan tersebut ingin diwujudkan, maka sumber-sumber yang dipakai untuk mendapatkan kesediaan itu tidak perlu harus mengorbankan dampak atau sasaran pokok dari program.
Sisi lain dari masalah pencapaian tujuan-tujuan kebijakan dan program dalam suatu lingkungan tertentu ialah daya tanggap. Idealnya lembaga-lembaga publik semisal birokrasi harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari pihak-pihak yang mereka harapkan menerima manfaat sebagai upaya untuk melayaninya sebaik mungkin. Tambahan pula, tanpa adanya daya tanggap tertentu selama implementasi, pejabat-pejabat pemerintah akan tidak mempunyai informasi yang memadai guna mengevaluasi prestasi dan keberhasilan suatu program.
Dalam banyak hal, daya tanggap mungkin pula berarti bahwa tujuan-tujuan kebijakan tidak tercapai karena adanya campur tangan individu-individu atau kelompok-kelompok yang sama, baik dalam rangka untuk mendapatkan barang dan layanan tertentu dalam jumlah yang lebih besar ataupun untuk menghambat jalannya program tertentu yang boleh jadi tidak mereka terima sebagai sesuatu yang bermanfaat. Bagi administrator-administrator kebijakan masalahnya dengan demikian adalah bagaimana menciptakan situasi yang kondusif dan menjamin adanya respon yang memadai guna memungkinkan keluwesan, dukungan, dan umpan balik selama proses implementasi program, sementara pada saat yang sama tetap mengusahakan adanya kontrol yang memadai atas distribusi sumber-sumber yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam kebijakan itu.
Untuk membuat keseimbangan semacam itu jelas bukan merupakan pekerjaan yang gampang, karena membutuhkan kejelian politik tertentu dalam memperhitungkan berbagai kemungkinan tanggapan yang muncul dari para aktor yang terlibat serta kemampuan , mereka untuk menggagalkan tujuan-tujuan program. Oleh sebab itu, maka agar supaya efektif, para pelaksana haruslah mempunyai kecakapan dalam seni berpolitik serta harus mempunyai pemahaman yang baik mengenai lingkungan di mana mereka berusaha untuk mewujudkan kebijakan publik dan program-programnya.
Masalah-masalah ideologi, kebudayaan, aliensi politik dan peristiwa-peristiwa merupakan faktor-faktor lingkungan lainnya yang mungkin membawa dampak tertentu terhadap proses implementasi kebijakan publik. Lebih lanjut, karena program-program apa pun tidaklah diimplementasikan dalam keadaan terisolasi dari kebijakan-kebijakan publik lainnya, maka keberhasilan suatu program tertentu akan dengan mudah dipengaruhi oleh prioritas-prioritas dari pejabat-pejabat politik ataupun hasil akhir dari program-program lainnya. Faktor-faktor tersebut menegaskan bahwa program-program yang muatannya serupa mungkin akan diimplementasikan secara berbeda jika lingkungan di mana program tersebut dilaksanakan amat berlainan.
Berdasarkan kajiannya terhadap proses pembuatan pilihan dalam implementasi kebijakan di negara-negara sedang berkembang, Grindle (1980) mengajukan model pilihan-pilihan kritis dalam proses implementasi. Dalam model ini, implementasi kebijakan diletakkan dalam konteks politiko-administratif (Periksa Bagan).
.

Bagan Pilihan-pilihan Kritis Proses Implementasi Kebijakan

Pada bagian pertama, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan defmisi kebijakan dan program, serta pengaruhnya terhadap usaha implementasi yang mengikuti. Bagian kedua, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan strategi implementasi dan konsekuensinya terhadap penyaluran program. Bagian ketiga, dipertanyakan siapa yang memetik keuntungan? Untuk itu pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan alokasi sumber dan konsekuensinya terhadap kelompok dan individu di masyarakat.
D. Permasalahan Analisis dan Penilaian Kebijakan
Mengikuti kerangka kerja analisis dan penilaian kebijakan publik (a framework for public policy analysis and policy evaluation) Theo Jans (2007), dapat dikenali dua kelompok permasalahan kebijakan.
Kelompok permasalahan pertama meliputi: (1) kajian tentang bagaimana, mengapa, dan apa pengaruh yang timbul dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah (the study of ‘how, why and to what effect governments pursue particular courses of action and inaction), (2) kajian tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan perbedaan-perbedaan apa yang timbul karenanya (what governments do, why they do it, and what difference does it make), dan (3) kajian tentang sifat dasar, sebab-sebab, dan akibat kebijakan publik (the study of the nature, causes, and effects of public policies).
Kelompok permasalahan kedua meliputi: (1) kajian tentang bagaimana masalah-masalah dan isu-isu disusun dan dirumuskan (how are problems and issues defined and constructed?), (2) kajian tentang bagaimana kebijakan ditempatkan dalam agenda politik dan kebijakan (how are they placed on political and policy agenda?), (3) kajian tentang bagaimana pilihan-pilihan kebijakan muncul (how policy options emerge?), (4) kajian tentang bagaimana dan mengapa pemerintah melakukan atau tidak melakukan sesuatu (how and why governments act or do not act?), dan (5) kajian tentang apa saja akibat yang timbul dari kebijakan pemerintah (what are the effects of government policy?).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar