Sabtu, 16 Maret 2013

Karakter dan analisis kebijakan pendidikan

 Di ambil dari kumpulan beberapa blog dan artikel...........

  •  karakter kebijakan pendidikan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.
Berikut adalah definisi kebijakan.
United Nations (1975) :
Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990).
James E. Anderson (1978) :
perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990).
Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt :
a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).

B. KEBIJAKAN NEGARA
Kemudian, mengenai definisi kebijakan Negara; dimana hal itu adalah sebuah konsep yang berlaku dalam sebuah negara (nation), maka berikut ini adalah dua definisi tentang kebijakan negara.
W.I Jenkins (1978) :
a set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve (seperangkat keputusan-kepurusan yang saling berhubungan antar-satu sama lainnya; dibuat oleh para pelaku politik (politisi) atau kelompok politisi menyangkut pemilihan tujuan dan orientasi pencapaian tujuan tersebut dalam situasi khusus dimana keputusan itu berada, secara prinsipil, berada dalam kekuasaan para politisi ini).
Chief J.O Udouji (1981) :
an sanctioned course of action addressed to a particular problem or group of related problems that effect society at large (sebuah rangkaian keputusan dalam hal pelaksanaan yang ditujukan untuk sebagian masalah atau sekelompok masalah-masalah (yang saling berkaitan) dimana seluruh masalah itu mempengaruhi masyarakat banyak).

C. KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.
Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining  desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip Administrasi yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
   Nah, dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.

D. KRITERIA KEBIJAKAN PENDIDIKAN
            Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1.      Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2.      Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.

3.      Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4.      Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5.      Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6.      Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.
E. SIAPAKAH PEMBUAT KEBIJAKAN PENDIDIKAN ?
            Dalam prespektif Halligan, J dan J Power. 1992 dalam buku Political Management in the Nineties dinyatakan bahwa :

...three principle dimensions of policy process in government, expanding on the first model. The three dimensions are:
(i)                   Administrative. Administrators maintain policy. They are primarily concerned that all regulations are complied with. They strive for impartiality, continuity, and procedural correctness. Administrators tend to be conservative, but are generally willing to follow changes in policy once agreed, as their function is to maintain policy. They strive to assure that any change does not upset stability.
(ii)                 Management. Managers launch activities within the frameworks given. Management focuses on implementing changes, and thus are primarily concerned with outputs than regulations and procedures.
(iii)                Political. The political process within the executive is led by politicians, the elected head of government and ministers, who often rely on their senior officials for political guidance. This function is the steering of change. The political process initiates change, gains endorsement for change by attending to numerous interest for and against change.

Sehingga, sebagai kesimpulannya, bahwa para pembuat kebijakan itu adalah; 1) administrator; 2) manajer; 3) politisi yang berada pada posisi masing-masing sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan mereka dalam bidang yang mereka tanggungjawabi.
Para administrator itu akan memberikan program-program yang dirancangnya dari konsep hingga praktis; manajer akan menjabarkan program-program itu dengan pengembangan yang teknis; dan para politisi akan merancang gerakan kebijakan yang mampu mewujudkan perubahan signifikan dalam konteks jangka panjang (long-term) yang mengatur program-program pada tingkatan struktur politik di daerah tempat program-program tersebut diselenggarakan.



E. ANATOMI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INDONESIA
Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009--yang memiliki orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009--mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggara Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan; baik di tingkat makro (masional); tingkat messo (daerah); dan tingkat mikro (satuan pendidikan).
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-Republik Indonesia (RI) sebagai sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di Indonesia tentunya sangat memperngaruhi eksistensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden—eksekutif nomor satu yang dibantu oleh Wakil Presiden; jajaran Kementerian; dan jajaran badan/lembaga kelengkapan eksekutif negara---adalah para pembuat kebijakanyang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.
Namun, khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia.
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.
Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
Berikut ini adalah ilustrasi berupa bagan tentang anatomi kebijakan pendidkan nasional berdasarkan kajian terhadap data Renstra Pendidikan Nasional 2005-2009 dan aspek empirik yang tengah berlangsung saat ini di Indonesia dengan konsentrasi khusus untuk pengaturan pendidikan dasar dan menengah (lihat di kiri atas; klik untuk resolusi besar).


  • analisis kebijakan pendidikan

Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Duke dan Canady (1991) mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu: (1) kebijakan sebagai penegasan maksud dan tujuan, (2) kebijakan sebagai sekumpulan keputusan lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan, melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, (3) kebijakan sebagai panduan tindakan diskresional, (4) kebijakan sebagai strategi yang diambil untuk memecahkan masalah, (5) kebijakan sebagai perilaku yang bersanksi, (6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substantif, (7) kebijakan sebagai keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan (8) kebijakan sebagai pengaruh pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran terhadap implementasi sistem.
Ketika memberikan pengantar untuk paparan sejumlah kasus kebijakan pendidikan di beberapa negara maju, Hough (1984) memberikan kontribusi sangat berarti bagi para pengkaji kebijakan pendidikan. Kontribusi ini terutama menyangkut isu-isu konseptual dan teoretik yang mampu memberikan kerangka pemahaman utuh bagi analisis kebijakan pendidikan.
Hough (1984) juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan. Bertolak dari konseptualisasi ini, misalnya, ujian nasional merupakan salah satu bentuk kebijakan pendidikan. Ujian nasional memadai untuk dikategorikan sebagai kebijakan karena: (1) dengan jelas dimaksudkan untuk mencapai seperangkat tujuan, (2) senantiasa menyertakan rencana pelaksanaan, (3) merupakan program pemerintah, (4) merupakan seperangkat keputusan yang dibuat oleh lembaga dan atau pejabat pendidikan, (5) menghadirkan sejumlah pengaruh, akibat, dampak dan atau konsekuensi, (6) dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lembaga terkait.
B. Daur Kebijakan Pendidikan
Kontribusi Hough (1984) yang juga sangat penting adalah penjelasannya mengenai tahapan-tahapan dalam proses kebijakan. Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup: (1) Kemunculan isu dan identifikasi masalah, (2) perumusan dan otorisasi kebijakan, (3) implementasi kebijakan, (4) dan perubahan atau pemberhentian kebijakan.
Pada tahap kemunculan isu dan identifikasi masalah, dilakukan pengenalan terhadap suatu masalah atau persoalan yang memerlukan perhatian pemerintah, masalah-masalah yang memdapat tempat dalam agenda publik serta agenda resmi, serta mobilisasi dan dukungan awal bagi strategi tertentu.
Pada tahap perumusan dan otorisasi kebijakan, dilakukan eksplorasi berbagai alternatif, perumusan seperangkat tindakan yang lebih dipilih, usaha-usaha untuk mencapai konsensus atau kompromi, otorisasi formal strategi tertentu seperti melalui proses legislasi, isu pengaturan atau penerbitan arahan-arahan.
Pada tahap implementasi, dilakukan interpretasi terhadap kebijakan dan aplikasinya terhadap kasus tertentu, serta pengembangan satu atau lebih program sebagai alternatif yang dipilih untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Pada    tahap    penghentian atau perubahan kebijakan, dilakukan penghentian karena masalah telah dipecahkan, kebijakan tidak berhasil atau hasilnya dinilai tidak diinginkan, melakukan perubahan mendasar berdasarkan umpan-balik, atau mengganti kebijakan tertentu dengan kebijakan baru.
Aspek kedua yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kebampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek ketiga yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media. Dalam aktor kebijakan resmi, juga dibagi-bagi lagi --- tetapi mengikuti sistem pemerintahan negara yang dikaji --- mulai dari pejabat senior hingga partai politik, lembaga pendidikan, lain-lain lembaga terkait pendidikan, dan antar badan antar pemerintah.
Pada aktor informal, atau tak resmi, terdapat kelompok kepentingan, partai politik, serta media massa. Kelompok kepentingan ini antara lain serikat guru, asosiasi yang mewakili jenis atau jenjang pendidikan tertentu, asosiasi yang mewakili peserta didik, asosiasi yang mewakili pimpinan perguruan tinggi, hingga asosiasi yang mewakili orangtua peserta didik.
Berdasarkan seluruh kajian yang dilakukan, memang tidak mungkin untuk disimpulkan secara umum. Namun demikian, jelas bahwa kadang-kadang kebijakan pendidikan secara terbuka dan hati-hati dihentikan, dimodifikasi, dihaluskan, atau diganti dengan kebijakan lain.
C. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Grindle (1980) menempatkan implementasi kebijakan sebagai suatu proses politik dan administratif. Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan, jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan publik apapun.
Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka kebijakan publik boleh dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik. Secara teoretik pada tahap implementasi ini proses perumusan kebijakan dapat digantikan tempatnya oleh proses implementasi kebijakan, dan program-program kemudian diaktifkan. Tetapi dalam praktik, pembedaan antar tahap perumusan kebijakan dan tahap implementasi kebijakan sebenarnya sulit dipertahankan, karena umpan balik dari prosedur-prosedur implementasi mungkin menyebabkan diperlukannya perubahan-perubahan tertentu pada tujuan-tujuan dan arah kebijakan yang sudah ditetapkan. Atau aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan ternyata perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.

Bagan  Implementasi sebagai Proses Politik dan Administratif
Lebih khusus lagi, dilihat dari sudut proses implementasi, keputusan-keputusan yang telah dibuat pada tahap rancangan atau perumusan berpengaruh terhadap lancar atau tidaknya implementasi. Hal ini kiranya akan menjadi jelas dengan mengambil contoh dampak tertentu yang ditimbulkan terhadap implementasi dari keputusan untuk mengalokasikan sejumlah besar dana yang dimaksudkan unhik mewujudkan tujuan kebijakan tertentu.
Perlu pula ditambahkan bahwa proses implementasi untuk sebagian besar dipengaruhi oleh macam tujuan yang ingin dicapai dan oleh cara perumusan tujuan. Dengan demikian perumusan keputusan atau mungkin bahkan tidak dirumuskan sama sekali mengenai macam kebijakan yang akan ditempuh serta macam program yang akan dilaksanakan merupakan faktor-faktor yang menentukan apakah program-program tersebut akan dapat dilaksanakan dengan berhasil ataukah tidak.
Muatan dari pelbagai kebijakan kerapkali juga menentukan letak implementasinya. Implementasi beberapa kebijakan tertentu biasanya hanya melibatkan sejumlah kecil satuan-satuan pembuat keputusan kunci di tingkat nasional, misalnya aktor-aktor yang menduduki posisi-posisi puncak.
Sebaliknya, ada pula kebijakan yang dilaksanakan oleh sejumlah besar pambuat keputusan yang posisinya bertebaran dalam wilayah geografis dan administratif yang luas, sekalipun biasanya hanya melibatkan suatu organisasi birokrasi tunggal. Di samping itu berbagai pejabat di daerah mungkin dilibatkan sebagai pelaksana-pelaksana dari program-program yang telah dirancang.
Semakin tersebar posisi implementasi, baik secara geografis maupun secara organisatoris-administratif, maka semakin sulit pula tugas-tugas implementasi suatu program. Sebabnya ialah karena makin banyak jumlah satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.
Keputusan-keputusan yang dibuat pada saat perumusan kebijakan dapat pula menunjukkan siapa yang akan ditugasi untuk mengimplementasikan berbagai program yang ada. Keputusan-keputusan demikian ini pada gilirannya akan dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan itu akan diwujudkan di kelak kemudian hari. Dalam hubungan ini mungkin akan dapat dideteksi secara dini adanya perbedaan-pebedaan tertentu pada berbagai satuan birokrasi yang akan terlibat langsung dalam pengeloaan program. Perbedaan itu, misalnya dalam hal tingkat kemampuan administratif atau manajerialnya. Di antara berbagai satuan birokrasi itu mungkin memiliki staf yang aktif, berkeahlian, dan berdedikasi tinggi terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas, sedangkan satuan-satuan birokrasi lainnya tidak.
Sementara itu, beberapa di antara satuan birokrasi tersebut mungkin akan mendapatkan dukungan yang lebih besar dari elite-elite politik yang berkuasa dan, karena itu, mereka dalam menjalankan tugasnya akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan sumber-sumber yang diperlukan. Di lain pihak, beberapa satuan birokrasi lainnya mungkin lebih mampu menanggulangi berbagai macam tuntutan dan kendala yang menghadang mereka.
Bentuk tujuan-tujuan kebijakan juga membawa dampak terhadap implementasinya. Dalam hubungan ini apakah tujuan-tujuan itu telah dirumuskan dengan jelas ataukah masih kabur, dan apakah pejabat-pejabat politik dan administrasi memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan-tujuan tersebut ataukah tidak, pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan proses implementasinya.
Dari berbagai penjelasan di atas, jelas bahwa muatan program daii muatan kebijakan publik itu berpengaruh terhadap hasil akhir implementasinya. Namun sebagaimana telah ditunjukkan dalam diagram tadi, muatan program atau muatan kebijakan itu menjadi faktor yang berpengaruh karena dampaknya yang nyata atau yang potensial terhadap lingkungan sosial, politik dan ekonomi tertentu. Oleh sebab itu, penting sekali untuk memperhitungkan konteks atau lingkungan implementasi kebijakan.
Dalam proses implementasi atau pengadministrasian setiap program mungkin banyak aktor yang terlibat dalam penentuan pilihan-pilihan mengenai alokasi sumber-sumber publik tertentu serta banyak pihak yang mungkin berusaha keras untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Berbagai pihak yang kemungkinan berpihak dalam implementasi program tertentu ialah para perencana tingkat nasional; para politisi tingkat nasional, regional dan lokal; kelompok-kelompok elite ekonomi, khususnya di tingkat lokal; kelompok-kelompok penerima program dan para pelaksana atau para birokrat pada tingkat menengah atau bawah. Aktor-aktor tersebut mungkin terlibat secara penuh ataukah tidak dalam implementasi program tertentu sedikit banyak akan ditentukan oleh muatan program dan bagaimana bentuk pengadministrasian programnya.
Masing-masing aktor mungkin mempunyai kepentingan tertentu dalam program tersebut, dan masing-masing mungkin berusaha untuk mencapainya dengan cara mengajukan tuntutan-tuntutan mereka dalam prosedur alokasi sumber. Seringkali terjadi, tujuan-tujuan dari para aktor itu bertentangan satu sama lain dan hasil akhir dari pertentangan ini serta akibatnya mengenai siapa yang memperoleh apa, akan ditentukan strategi, sumber-sumber, dan posisi kekuasaan dari tiap aktor yang terlibat.
Apa yang diimplementasikan dengan demikian merupakan hasil suatu tarik-ulur kepentingan-kepentingan politik dan kelompok-kelompok yang saling berebut sumber-sumber yang langka, daya tanggap dari pejabat-pejabat pelaksana serta tindakan dari para elite politik yang kesemuanya itu berinteraksi dalam kelembagaan tertentu. Oleh karena itu analisis mengenai program-program tertentu berarti pula menilai kemampuan-kemampuan kekuasaan dari para aktor yang terlibat, kepentingan-kepentingan mereka dan strategi-strategi yang mereka tempuh untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut serta ciri-ciri pemerintahan dimana mereka berinteraksi. Hal ini pada gilirannya akan memudahkan penilaian terhadap peluang untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan maupun tujuan-tujuan program.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut para pejabat akan dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu yang menyangkut lingkungan interaksi program dan administrasi program. Untuk itu pertama-tama para pejabat tersebut harus memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana mencapai konsistensi tujuan-tujuan yang termaktub di dalam kebijakan. Misalnya mereka harus berusaha mendapatkan dukungan dari para elite politik dan kesediaan dari instansi-instansi pelaksana, dari para birokrat yang ditugasi untuk melaksanakan program dari para elite politik pada tingkat rendah, serta dari pihak-pihak ynag diharapkan menerima manfaat program tersebut. Selanjutnya mereka harus mampu merubah sikap menentang dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh program tersebut menjadi sikap menerima terhadapnya, serta mereka harus tetap waspada terhadap pihak-pihak yang diabaikan oleh program tersebut, tetapi tetap bersikeras untuk memperoleh manfaat, khususnya terhadap usaha-usaha yang mungkin mereka lakukan untuk menggerogotinya. Upaya untuk menumbuhkan kesediaan bahkan kepatuhan dari berbagai pihak tersebut di atas boleh jadi berarti semakin banyak dilakukan negosiasi, akomodasi, dan lagi-lagi konflik tertentu. Namun, jika keseluruhan tujuan-tujuan kebijakan tersebut ingin diwujudkan, maka sumber-sumber yang dipakai untuk mendapatkan kesediaan itu tidak perlu harus mengorbankan dampak atau sasaran pokok dari program.
Sisi lain dari masalah pencapaian tujuan-tujuan kebijakan dan program dalam suatu lingkungan tertentu ialah daya tanggap. Idealnya lembaga-lembaga publik semisal birokrasi harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari pihak-pihak yang mereka harapkan menerima manfaat sebagai upaya untuk melayaninya sebaik mungkin. Tambahan pula, tanpa adanya daya tanggap tertentu selama implementasi, pejabat-pejabat pemerintah akan tidak mempunyai informasi yang memadai guna mengevaluasi prestasi dan keberhasilan suatu program.
Dalam banyak hal, daya tanggap mungkin pula berarti bahwa tujuan-tujuan kebijakan tidak tercapai karena adanya campur tangan individu-individu atau kelompok-kelompok yang sama, baik dalam rangka untuk mendapatkan barang dan layanan tertentu dalam jumlah yang lebih besar ataupun untuk menghambat jalannya program tertentu yang boleh jadi tidak mereka terima sebagai sesuatu yang bermanfaat. Bagi administrator-administrator kebijakan masalahnya dengan demikian adalah bagaimana menciptakan situasi yang kondusif dan menjamin adanya respon yang memadai guna memungkinkan keluwesan, dukungan, dan umpan balik selama proses implementasi program, sementara pada saat yang sama tetap mengusahakan adanya kontrol yang memadai atas distribusi sumber-sumber yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam kebijakan itu.
Untuk membuat keseimbangan semacam itu jelas bukan merupakan pekerjaan yang gampang, karena membutuhkan kejelian politik tertentu dalam memperhitungkan berbagai kemungkinan tanggapan yang muncul dari para aktor yang terlibat serta kemampuan , mereka untuk menggagalkan tujuan-tujuan program. Oleh sebab itu, maka agar supaya efektif, para pelaksana haruslah mempunyai kecakapan dalam seni berpolitik serta harus mempunyai pemahaman yang baik mengenai lingkungan di mana mereka berusaha untuk mewujudkan kebijakan publik dan program-programnya.
Masalah-masalah ideologi, kebudayaan, aliensi politik dan peristiwa-peristiwa merupakan faktor-faktor lingkungan lainnya yang mungkin membawa dampak tertentu terhadap proses implementasi kebijakan publik. Lebih lanjut, karena program-program apa pun tidaklah diimplementasikan dalam keadaan terisolasi dari kebijakan-kebijakan publik lainnya, maka keberhasilan suatu program tertentu akan dengan mudah dipengaruhi oleh prioritas-prioritas dari pejabat-pejabat politik ataupun hasil akhir dari program-program lainnya. Faktor-faktor tersebut menegaskan bahwa program-program yang muatannya serupa mungkin akan diimplementasikan secara berbeda jika lingkungan di mana program tersebut dilaksanakan amat berlainan.
Berdasarkan kajiannya terhadap proses pembuatan pilihan dalam implementasi kebijakan di negara-negara sedang berkembang, Grindle (1980) mengajukan model pilihan-pilihan kritis dalam proses implementasi. Dalam model ini, implementasi kebijakan diletakkan dalam konteks politiko-administratif (Periksa Bagan).
.

Bagan Pilihan-pilihan Kritis Proses Implementasi Kebijakan

Pada bagian pertama, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan defmisi kebijakan dan program, serta pengaruhnya terhadap usaha implementasi yang mengikuti. Bagian kedua, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan strategi implementasi dan konsekuensinya terhadap penyaluran program. Bagian ketiga, dipertanyakan siapa yang memetik keuntungan? Untuk itu pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan alokasi sumber dan konsekuensinya terhadap kelompok dan individu di masyarakat.
D. Permasalahan Analisis dan Penilaian Kebijakan
Mengikuti kerangka kerja analisis dan penilaian kebijakan publik (a framework for public policy analysis and policy evaluation) Theo Jans (2007), dapat dikenali dua kelompok permasalahan kebijakan.
Kelompok permasalahan pertama meliputi: (1) kajian tentang bagaimana, mengapa, dan apa pengaruh yang timbul dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah (the study of ‘how, why and to what effect governments pursue particular courses of action and inaction), (2) kajian tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan perbedaan-perbedaan apa yang timbul karenanya (what governments do, why they do it, and what difference does it make), dan (3) kajian tentang sifat dasar, sebab-sebab, dan akibat kebijakan publik (the study of the nature, causes, and effects of public policies).
Kelompok permasalahan kedua meliputi: (1) kajian tentang bagaimana masalah-masalah dan isu-isu disusun dan dirumuskan (how are problems and issues defined and constructed?), (2) kajian tentang bagaimana kebijakan ditempatkan dalam agenda politik dan kebijakan (how are they placed on political and policy agenda?), (3) kajian tentang bagaimana pilihan-pilihan kebijakan muncul (how policy options emerge?), (4) kajian tentang bagaimana dan mengapa pemerintah melakukan atau tidak melakukan sesuatu (how and why governments act or do not act?), dan (5) kajian tentang apa saja akibat yang timbul dari kebijakan pemerintah (what are the effects of government policy?).

korupsi di Indonesia: Tinjauan Normative theory

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu amanat dan sekaligus tuntutan yang kerap dikumandangkan sejak awal masa reformasi. Hal ini dinilai sebagai sesuatu yang urgen karena korupsi telah membawa dampak yang begitu buruk bagi kehidupan bangsa secara nyata. Karena itu wajar jika pemerintahan masa transisi pasca Orde Baru telah mengagendakan upaya yang cukup serius untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat yang begitu berambisi mengenyahkan praktik korupsi di negeri ini. Hal ini paling tidak dapat disimak dari aspek legal-formal dengan dikeluarkannya sejumlah peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pemberantasan korupsi sebagaimana tampak pada table berikut.
Tabel: Produk Hukum Mengenai Korupsi Pasca-Orde Baru
No
Peraturan
Substansi
1
Tap MPR No.XI/ MPR/1998
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
2
Inpres No.30/1998
Instruksi Presiden kepada Jaksa Agung untuk segera memeriksa mantan Presiden Soeharto.
3
UU No.28/1999
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
4
UU No.31/1999
Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi.
5
PP No.65/1999
Tatacara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.
6
PP No. 66/1999
Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa.
7
PP No.67/1999
Tatacara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa.
8
PP No.68/1999
Tatacara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.
9
PP No.71/2000
Tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi.
10
UU No.20/2001
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti UU No.31/1999.
11
UU No.30/2002
Tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
12
UU No.25/2003
Tentang Perubahan UU No15/2002 Tentang Tindak Pidana Anti Pencucian Uang.
13
Inpres No.5/2004
Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
14
Kepres No11/2005
Pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Diadaptasi dari berbagai sumber
Selama masa pemerintahan BJ. Habibie, misalnya, tak kurang dari delapan produk hukum yang dirancang untuk menjaring para koruptor, meskipun ternyata tak satu pun yang efektif menuai hasil. Demikian pula pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati, peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi terus diproduksi. Namun tidak juga menurunkan nyali dan “birahi” para koruptor untuk melakukan korupsi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tidak mau ketinggalan. Pada awal masa pemerintahannya, SBY juga meluncurkan Inpres dan Keppres mengenai upaya pemberantasan korupsi, bahkan disertai amanat-amanat ‘moralis’ yang secara langsung mengajak para petinggi di negeri ini untuk bersikap jujur sekaligus menjauhkan diri dari sikap koruptif yang tak terpuji itu.
Rezim pemerintahan memang terus berganti. Seiring dengan itu, sejumlah peraturan pun terus diperbarui. Namun demikian, mentalitas korupsi hingga kini belum juga terkalahkan. Apa sejatinya korupsi itu? Apa pula akar masalah dan dampaknya bagi kehidupan berbangsa? Strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan ini? Adakah solusi alternatif yang efektif untuk memberantas korupsi? Memang banyak cara dan strategi yang ditempuh, namun tulisan ini lebih fokus pada perspektif normatif, dengan pendekatan moral sebagai titik sentralnya.
13028330951407241163
Definisi dan Redefinisi Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio yang berarti busuk atau rusak. Dalam padanan kata kerjanya, korupsi atau corrumpere juga dapat berarti menggoyahkan, memutar-balik, atau menyogok. Karena itu, Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal berusaha memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari perspektif ini, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi mencakup beberapa unsur, yaitu: a) melanggar hukum yang berlaku, b) penyalahgunaan wewenang, c) merugikan negara, d) memperkaya pribadi/diri sendiri.[1]
Sementara itu, sosiolog Syed Hussein Alatas mendefinisikan korupsi sebagai penyalah-gunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Esensinya adalah bahwa korupsi merupakan pencurian yang dilakukan melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Adapun Mark Phillip memberikan tiga definisi berdasarkan orientasinya, yaitu public office-centered, public interest-centered, dan market-centered. Definisi public office-centered memandang korupsi sebagai tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi. Definisi public interest-centered melihat korupsi sebagai perilaku yang merugikan kesejahteraan publik. Sedangkan definisi market-centered berdasar pada penggunaan metode ekonomi dalam analisis politik, dimana korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pegawai negeri untuk memperoleh pendapatan ekstra dari publik.
Secara legal-formal, UU No. 20/2001 Jo. UU No. 31/1999 mendefinisikan korupsi sebagai suatu tindakan yang melawan/melanggar hukum dengan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/ kedudukannya (abuse of power) untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan/perekonomian negara.[2]
Sejalan dengan itu, Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa sebagai konsep korupsi sebenarnya mempunyai makna generik yang sama dengan kolusi dan nepotisme (KKN). Ketiga konsep itu bermuara kepada pemahaman yang sama, yaitu menyangkut praktik penyalahgunaan kekuasaan (power) dan wewenang (authority), baik yang dilakukan oleh seseorang, atau sekelompok orang, untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau lembaga lainnya, sehingga merugikan kepentingan masyarakat luas atau publik. Oleh karena itu konsep kolusi dan nepoteisme juga berarti korupsi, karena dibalik praktik kolusi dan nepotisme berlangsung penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk menguntungkan diri dan kalangan sendiri, dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.[3]
JM. Wammey menyebutkan bahwa tidak semua korupsi mewujud dalam bentuk penyuapan (bribe) berupa uang. Sebagai contoh seseorang yang memiliki posisi yang berhadapan dengan kepentingan publik menggunakan waktu pelayanannya untuk kebutuhan pribadi, seorang pemimpin yang menggunakan aparat instansi atau kantor untuk digunakan atau dimanfaatkan secara pribadi. Dalam beberapa kasus terdapat kerancuan istilah antara penyuapan (bribe) dengan hadiah (gift). Dalam beberapa hal, kedua istilah tersebut dapat dibedakan dari sisi, penyuapan bersifat reciprocity sedangkan hadiah tidak. Sekalipun secara fundamental dapat dibedakan, namun kadang-kadang masih tetap menemui kesulitan untuk membedakannya. Sehingga muncul beberapa pertanyaan, apakah dengan demikian sebuah hadiah dapat berubah menjadi penyuapan? Apakah mengukur besarnya hadiah bisa dijadikan pembatas antara korupsi dan hadiah? Ataukah dapat dibedakan dari sisi cara pemberian yang terang-terangan atau yang bersifat tertutup? Mitos bahwa korupsi merupakan intrinsic nature sehingga tidak mungkin diukur, menyebabkan persoalan korupsi menjadi semakin rumit karena tipologinya juga kian beragam.[4]
Identifikasi Korupsi: Akar Masalah dan Dampaknya
Survey diagnostik atas tindak pidana korupsi yang dilakukan Partnership for Goverment Reform menyebutkan empat alasan utama yang menjadi penyebab terjadinya praktik korupsi. Keempat hal itu adalah rendahnya gaji (36%), kurangnya pengawasan (19%), buruknya moral (16%), dan lemahnya penegakan hukum (7%).[5] Mengenai rendahnya gaji pegawai, Herbert Feith pernah melukiskan bahwa Dr. A. Halim, Perdana Menteri Republik Indonesia pada tahun 1950 menulis surat terbuka kepada Presiden Sukarno, dan menyatakan dengan tegas bahwa gaji pegawai yang hanya cukup membiayai hidup untuk dua minggu atau paling lama 20 hari, telah menyebabkan mereka rela menjual harga dirinya dan melibatkan diri dalam korupsi kecil-kecilan (minor corruption).[6] Korupsi kecil-kecilan yang dibiasakan dan dibiarkan ini kemudian berkembang-biak dan lambat-laun menjadi jombi yang kian membudaya di negeri ini.
Namun begitu, di mata antropolog Sjafri Sairin, membiaknya praktik korupsi lebih berkait erat dengan faktor mentalitas. Meskipun rendahnya gaji dapat dipahami sebagai salah satu alasan, namun menurutnya, praktik korupsi tidak berhubungan secara langsung dengan tinggi atau rendahnya tingkat penghasilan. Mereka yang terjerumus pada praktik korupsi adalah mereka yang memiliki mentalitas yang “selalu merasa kekurangan” (unsatiable mentality). Mereka sepertinya tidak pernah merasa puas dengan penghasilan yang telah diperoleh, walaupun menurut ukuran umum, sebenarnya penghasilan itu sudah cukup untuk menopang kehidupan mereka secara wajar. Keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak tidak pernah terpuaskan sehingga terkesan serakah. Untuk memuaskan “rasa kurang” itu mereka berusaha menempuh berbagai jalan, baik yang dilakukan sesuai dengan peraturan, nilai moral dan etika, maupun yang berlawanan dengan itu.[7] Inilah sikap yang disebut sosiolog Kuntjaraningrat sebagai “mentalitas menerabas”.
Sementara itu, budayawan Mudji Sutrisno menilai bahwa akar masalah munculnya praktik korupsi adalah akibat demoralisasi. Menurutnya, manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan dan niat untuk melakukan korupsi. Namun, bila moralitasnya bagus, ia tidak akan pernah melakukannya. Masalahnya sekarang adalah niat untuk korupsi ada, sementara sistem dan budaya serta lingkungan juga mendukung terciptanya praktik korupsi. Ia menambahkan bahwa munculnya demoralisasi pada tingkatan niat ini ditandai dua hal. Pertama, adanya hak milik kolektif. Bila seseorang menjadi penguasa atau pejabat publik atau bahkan menjadi diri sendiri sekalipun, dia lantas akan merasa memiliki semua. Apa yang seharusnya dikelolanya dengan tanggung jawab yang tinggi justru dijadikan hak milik baginya. Akibatnya, mereka tidak merasa harus bertanggung jawab secara moral terhadap apa yang dimilikinya tersebut. Kedua, moralitas yang tertanam dalam diri individu mengalami krisis. Ini ditandai dengan tidak adanya kesadaran dalam individu, apakah ia melakukan perbuatan baik atau tidak. Dengan kata lain, sense of goodder and sense of badder tidak tumbuh dalam diri individu sehingga ia tidak mengenali lagi apakah yang dilakukannya baik atau tidak. Akibatnya, tidak ada konsep moral dalam pekerjaannya. Hal inilah yang akhirnya merangsang munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme di semua lini kehidupan.[8]
Solusi Korupsi Berbasis ”Normatif-Moralis”
Dengan beragam argumen yang dikemukakan, pendekatan normatif terhadap gejala korupsi memang cenderung menitikberatkan pada persoalan moralitas sebagai pangkal kausalnya. Karena itu pula upaya antisipasi dan beragam strategi yang ditempuhnya pun memposisikan pendekatan nilai moral sebagai basis utamanya. Pendekatan “normatif-moralis” ini telah lama diperlihatkan dan ditempuh. Salah satu contoh, misalnya, pada masa Orde Baru dengan paradigma “WASKAT”. Konsep Waskat sering disebut sebagai pengawasan melekat atau “pengawasan malaikat”. Artinya, agar para pejabat terhindar dari sikap koruptif maka ia harus punya standar moral, nilai atau etika tertentu sehingga ia merasa diawasi moral dan perilakunya. Pendekatan ini tentu sangat populer karena secara langsung dikampanyekan oleh Soeharto sebagai pemegang tapuk kekuasaan pada saat itu, meskipun efektifitas program “WASKAT” ini kemudian tidak memperlihatkan hasil yang memadai.
Masih dalam konteks pendekatan normatif, John ST Quah, peneliti kebijakan publik dan korupsi dari National University of Singapore (NUS), mengatakan bahwa kunci sukses penanganan korupsi terletak pada dua unsur penting. Pertama, komitmen yang kuat dari presiden atau petinggi negara. Kedua, tersedianya instrumen dan aturan perundang-undangan yang baik. Menurut Quah, strategi paling efektif untuk menanggulangi korupsi adalah mengombinasikan komitmen pemimpin politik yang kuat dengan perangkat instrumen yang memadai.[9]
Quah juga menambahkan bahwa strategi penanggulangan korupsi harus diiringi dengan upaya untuk meminimalisasi sebab-sebab munculnya tindak pidana korupsi. Karena korupsi antara lain disebabkan oleh adanya insentif dan kesempatan untuk melakukan tindakan korup, maka strategi komprehensif untuk menanggulangi korupsi di sebuah negara harus mengikuti “the logic of corruption control”. Artinya, logika pengendalian korupsi harus didesain untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan insentif dan kesempatan yang menjadikan korupsi menjadi sebuah godaan tak tertahankan.[10] Namun demikian, parameternya tentu berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Namun sayangnya, di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, parameter nilai moral masih menjadi indikator dominan.
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) melalui milinglist-nya pernah mengakomodasi beragam ide dengan melakukan inventarisasi “Kumpulan Tulisan Mengenai Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”.[11] Sebagai sebuah ruang terbuka, masukan dan tawaran yang mengemuka dalam milis itu tentu sangat beragam. Mulai dari usulan ‘sepele’ yang bersifat guyon hingga tawaran strategi yang didasarkan atas hasil riset yang serius dan mendalam. Dari sekian banyak tawaran solusi yang mengemuka, pendekatan “normatif-moralis” ternyata memang masih banyak diandalkan. Sebagai sebuah perspektif, pendekatan ini memang dapat dijadikan salah satu rujukan. Namun tentu harus diakui bahwa strategi dan pendekatan ini belum cukup memadai tanpa dibarengi strategi, pendekatan, serta upaya-upaya lain yang justru lebih urgen dan substantif./end
13028335561207895327
***

[1] Lebih detil dapat disimak dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
[2] Lebih rinci dapat disimak dalam UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta penjelasannya.
[3] Raharjo, M. Dawam (1999), “Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme (KKN): Kajian Konseptual dan Kultural”, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed), Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta.
[4] Wammey, J.M. (1999), “Can Corruption be Measured? Bank Offers Diagnostic Tools to Measure and Combat Corruption in Member Countries.” Bank’s World, Vol.3 No.6, Website: http://www.ext/worldbank.org/bw7.
[5] Simak: Ratih Hardjono dan Stefanie Teggemann, ed. (TT). Kaum Miskin Bersuara: 17 Cerita Tentang Korupsi, Partnership for Goverment Reform in Indonesia, Jakarta.
[6] Feith, Herbert (1962), The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca.
[7] Sairin, Sjafri, “Efektivitas Gerakan Kultural dalam Pemberantasan Korupsi Nasional,” makalah Seminar Nasional Gerakan Kultural Ant- Korupsi dan Pemilihan Ekonomi dalam Rangka Sosialisasi Etika Kehidupan Berbangsa, Kedeputian Bidang Sejarah dan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Pengurus Pusat Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama, Jakarta: 21 Juli 2004.
[8] Kompas, “Demoralisasi Niat Memicu Maraknya Korupsi”, 6 Februari 2003.
[9] Quah, John ST (1999), “Corruption in Asian Countris: Can It Be Minimized?”, Public Administration Review, Vol.59, No.6.
[10] Ibid.

bait-bait liar__2

26 November 2012
aku mencintaimu ,,
aku menyayangimu ,,
tag pernah ku mampu kecewakanmu ,,
lukai hatimu ,,

ingin aku milikimu sepenuhnya ,,
jiwamu begitupun ragamu ,,
tanpa harus membaginya dengan yang lain ..

tapi nyatanya . . .
kau tag mampu aku rengkuh ,,
maka lepaskanlah aku ,,
jadi yang ketiga tag pernah aku ingini..

biar ku mengalah untuknya ,,
dia yang...

****************************************************************


26 November 2012
begitu sulit untuk menerima sebuh kenyataan dan kehilangani ,,
tapi lebih sulit lagi untuk menerima dan memahami
sebuah ketulusan dan pengorbanan..

tapi tetaplah yakin ,,

bahwa yang hilang , pergi ..
pasti akan kembali..
dengan cara yang tak pernah kita mengerti ..

****************************************************************


nada berantah

26 November 2012 pukul 5:23

dunia suram cinta ,,
begitu kelam ..
sedetik ku rasa sejam ..
jantungku berdetak
seakan terhentak

langkah ku gontai
tag bertuan

ingatanku memutar kenangan lalu
menyanyikan kata dan janjinya
mengalunkan lagu terbaik
yang aku tahu

nadanya pun mendayu merdu
aku hampir terhanyut oleh kenangan itu

tapi seketika itu hatiku berontak
sontak aku terbangun dari anganku

karna nyatanya ,,
nyanyian itu hanya buaian..
yang ia buat tuk luluhkan aku ..

lagu itu kini menjadi yang aku benci
nadanya pun menjadi desah tak berbenah
memekakkan telingaku
menggugah amarah

sadarkan aku ,,
bahwa sungguh
hatiku menyayanginya..
tapi pikirku begitu berontak ..
bahwa aku membencinya ..


 *************************************************************

______________ RINDU SEMU___________________

oleh Iman Farizki (Catatan) pada 22 September 2012 pukul 17:47


Setaksa aksara ku coba cipta makna kata cinta maya beserta segala tema suka duka bahagia dan derita..
ku tata dengan tinta pena tak bermata mutiara..

Seribu satu laju waktu berlalu dan rinduku tabu tersaku di kalbu nan kelabu..
jemuku menunggumu nan membisu tersapu di deru bayu dan berpadu di pintu buntu..

Seirama nada tanpa suara dan rupa tiada menjelma nyata di mata..
kau hanya ada pada rasa nan bertahta di singgasana rongga dada..

Sendu lagu rindu mendayu pilu nan merayuku tuk berpangku dagu dan terpaku bisu..
merdu suaramu tak mampu menipu satu waktu nan berpacu tuk membeku..

Sementara siku bianglala sirna di terpa surya senja..
seketika itu pula bayangkara mega di landa gulita..

Sewindu tak menentu ku temu dirimu..
ku menunggu Rindumu di bangku Semu..

Bait-bait liar


Cahaya
Pekalongan, 1 januari 2013

Malam ini, tak ku lihat bulan
Di sudut langit….
Yang ku lihat, hanya cahaya kemerahan
Menerangi kegelapan
Angin berhembus lirih
Memamerkan cara mereka bertasbih
Menuai damai dalam kerinduan
Begitu indah
Cara.Mu atas takdirku
Begitu lembut
Tangan.Mu perlakukan aku
Tapi Tuhan, tak ada balas budi ku
Untuk.Mu
Tak ingat bahwa aku begitu fakir
Sedang Engkau Maha Kabir
Dosa ku bergelimang
Namun Kau tetap sayang
Aib ku menjuntai
Namun Kau tutup dengan tirai
Kau selalu menjadi cahaya
Di ujung kegelapanku
Seperti cahaya malam ini
Yang memberi terang
untuk sang malam
Tuhan, harapan ku
Selalu Kau buka pintu langit untukku
Selalu Kau buka pintu hatiku
Untuk mengingat.Mu

****************************************************************


Tanpa judul
Pekalongan, desember 2012
Tak kan ku lupa engkau
Yang menjadi fajar bagi kehidupan ku
Begitu indah cara Tuhan
Mempertemukan aku dengan dirimu
                Mengajarkan aku hidup
Menjadi lebih baik
Bermanfaat dan tersenyum
Tak lelah kau nasehati aku
Meluruskan aku untuk tetap
Berada di jalan.Nya
                Terima kasih Tuhan..
                Karena tanpa takdir.Mu
                Tak akan pernah ku temui dia
Dan aku,
Menyanyangi dia karena Kamu
Karena cinta ku pada.Mu

********
I hope we will together
And our love never dies… J


 *********************************************************************************

Tanpa Judul
Pekalongan, 2 januari 2013
Detik ini, di bibir pantai
Ku nikmati alam
Dengan penuh kesyukuran
Kau tahu Tuhan?
Tak ada ciptaan
Seelok ciptaan.Mu
Dan Kau tahu Tuhan?
Kau begitu sempurna
Sempurna dalam sifat.Mu
Sempurna dalam urusan.Mu
Tak seorang manusiapun
Temui kelemahan
Dalam ciptaan.Mu
Dan aku harap
Sesempurna itu pula
Aku mencinta dan menyembah.Mu
Detik ini,
Saat aku mengagumi.Mu
Mengagungkan ciptaan dan nama.Mu
Ku lihat senja
Mensyaratkan keindahan.Mu
Bersama ombak yang bergelombak
Meretas buih di bibir lautan
            Dan bersama alam
            Aku bertasbih memuji.Mu
           
************

Di pantai pasir kencana
           



***********************************************************************************
           
Tanpa Judul
Pekalongan, 3 januari 2013

Bait bait ku
Belum mampu aku selesaikan
Ketika hujan turun
Dan mulai membasahi
Tanah yang aku tapak
            Rintik rintik air ini
            Mengiringi gema yang bersahutan
            Adzan dhuhur sedang berkumandang
Ku rasa
Alam sedang menampakkan
Cara mereka memuji.Nya
Begitu manis bukan?
            Mengajak sang angin
            Untuk bertasbih
            Menyapa dedaunan
            Untuk tetap beriman
Pantasnya aku tersenyum
Melihat ta’dhimnya alam
Tapi justru tangis
yang ada
Karena begitu miris
Caraku memuji.Nya

***********
Di sela rerintikan hujan
Pukul 12.17 WIB
Hujan turun
tepat kala adzan berkumandang